Thursday, January 05, 2006

Eulogi Untuk Widhiana Laneza dan Sepakbola Indonesia


Oleh : Bambang Haryanto

Blog ini lebih sempurna untuk Anda baca
apabila Anda akses melalui browser Firefox Mozilla.


Sepakbola Kotor Di Indonesia. Sepakbola Indonesia telah mati. Karena sportivitas telah lama mati. Wartawan harian Kompas, Yulia Sapthiani, ketika menulis laporan tutup tahun persepakbolaan Indonesia sepanjang tahun 2005, mengemukakan analisis yang mengentak.


Suasana kejiwaan yang dominan melingkupi insan sepakbola negeri besar ini adalah sikap mental katak dalam tempurung. Juara liga Indonesia adalah tujuan puncak, meski harus dilalui dengan cara “kotor” sekali pun, tulis Yulia. “Kompetisi di Indonesia sama sekali tidak menganut asas fair play”, keluh Fachry Husaini, asisten pelatih tim nasional.


Saya jadi saksi, baik di Jakarta atau pun di Singapura, timnas kita dibekuk oleh Singapura dalam Final Piala Tiger 2004/2005.

Image hosted by Photobucket.com


TAK ADA KEBANGKITAN. Kehadiran suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang Singapura, diramaikan spanduk yang khusus kami bawa dari Solo, Indonesia. Kalau Anda jeli, foto paling kanan adalah fotonya Mayor Haristanto dan saya. Sayang, tak ada keajaiban. Tidak ada kebangkitan. Di leg pertama Final Piala Tiger 2004/2005, di Senayan timnas kita dipukul Singapura, 1-3. Di Kallang ini kami jadi saksi, timnas kembali kalah dengan 2-1. (Foto : Dokumentasi BOLA)>


Sesudah kegagalan itu, PSSI jualan kembang gula penghibur baru lagi kepada publik bola tanah air. Mencanangkan target juara di SEA Games 2005 Manila, tetapi akhirnya hanya berbuah betapa anak-anak asuhan Peter Withe kembali ke tanah air dengan tangan hampa. Perunggu pun tidak.


Panorama puncak kompetisi domestik, Liga Indonesia 2005, dicederai mentah-mentah oleh Persebaya yang mengundurkan diri, yang membuat Persija melenggang santai meraih partai puncak. Banyak orang bersyukur, tim ibukota negara yang melimpah uang itu akhirnya dirontokkan oleh anak-anak mutiara hitam Papua.


Cinta Yang Belum Padam. Bagi saya, sepakbola Indonesia memang telah lama mati. Saya pun telah memvonis sepakbola Indonesia telah lama mati. Di Tabloid BOLA (24/1/2003), persis tiga tahun lalu, saya menulis opini : “Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati”. Sejak itu, saya tak menulis opini lagi di tabloid terbesar ini.


Tetapi api cinta kepada sepakbola, ternyata belum padam sama sekali. Gara-gara saya memiliki blog Suporter Sepakbola ini, rasa mabuk kepayang terhadap sepakbola, rupanya harus terusik lagi. Membara lagi.


Inilah ceritanya.


Gara-gara boss majalah Freekick, yang akan terbit di awal tahun 2006 ini, chatting dengan Totot Indrarto, mantan creative director SatuCitra yang juga kritikus film, arahnya berbelok kearah saya.


Totot atau sering dikenal dengan sebutan Pakde ini pernah menggagas Mandom Resolution Award (MRA) 2004, di mana saya ikut serta. Saya menuliskan suka-duka mengikuti kontes tersebut dalam blog Esai Epistoholica saya. Pas berlangsungnya MRA 2004, sampai kini, saya belum pernah ngomong langsung dengan dia. Komunikasi hanya lewat email.


Rupanya ia berkenan menjelajah blog-blog saya, dan nyasar pula ke blog saya mengenai suporter sepakbola Indonesia. Chief editor majalah Freekick yang sering menulis kolom sepakbola di harian Kompas, Andi Bachtiar Yusuf, rupanya terbujuk oleh saran Totot Indrarto Entah apa yang terjadi, sehingga akhirnya ia meminta saya untuk menulis kolom di majalah Freekick itu pula.



Saya tinggal di Wonogiri. Dari Solo arah ke selatan, 32 km. Karena kota kecil saya ini topografinya terkepung oleh gunung, saya tidak bisa nonton tayangan sepakbola di SCTV dan TV7. Juga terlalu lama tidak membaca-baca FourFourTwo atau World Soccer. Terakhir, membolak-balik kumpulan lelucon mengenai David Beckham dan istrinya, di toko buku Times NewsLink, Terminal 1 Bandara Changi Singapura, tetapi aku malas untuk membelinya.


Masa lalu itu, cinta lama saya terhadap sepakbola, kemudian melambai-lambaiku. Untuk kembali. Persis bersamaan momennya, gara-gara menulis blog mengenai wanita-wanita terindah saya, masa lalu lain juga merenggutku untuk kembali.


Wanita Terindah Telah Pergi. Menjelang akhir Desember saya menerima email dari Verdi Amaranto*. Nama yang tidak kukenal. Isi emailnya membuat diriku membeku : “Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan blog Anda, "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list wanita-wanita terindah Anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya”


Sepakbola Indonesia telah lama mati. Kini seorang wanita terindahku, “telah berjalan menembus awan” pula. “Now she's walking through the clouds /With a circus mind /That's running wild /Butterflies and zebras /And moonbeams and fairytales /All she ever thinks about is /riding with the wind “, penggalan lirik lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix.


Kepergian Anez, yang dulu suka bercanda dengan anjing kampung yang ia beri nama Grigri, jimat dalam bahasa Perancis, membuatku mampu menangis pada puncak malam. “Tumpahkan air matamu hingga memenuhi sebuah kapal”, pepatah Srilanka yang memberi arah bagaimana kita harus melupakan rasa kehilangan dan kesedihan. Untuk itu, telah pula aku buatkan situs blog, Song Fopr Anez, untuk mengiringi kepergiannya yang abadi. Kepergian Anez, yeah, harus diikhlaskan


Fly little wing

I want her to fly


Tetapi bagaimana dengan sepakbola ? Peneliti seks Shere Hite yang terkenal dengan buku Hite’s Report, yang gengsinya setara dengan buku-buku laporannya Johnson dan Masters, telah menyimpulkan : football can be categorised as a type three masturbatory technique. Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi yang ketiga.



Mari kita nikmati ramai-ramai sensasinya.

Di bulan Juni-Juli mendatang, mari kita orgasme sama-sama pula !


Wonogiri, 3 Januari 2006



* Ketika saya naksir Anez, Mas Anto atau Verdi Amaranto lagi menyelesaikan kuliahnya di Paris, Perancis.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home