Tuesday, October 12, 2010

JIP 1980, Anez 1982 dan Ibu Rusina Dalam Kenangan



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Diary 1980an. Bikin malu. Kamar saya pantas disebut sebagai gudang buku. Karena tak ada klasifikasi. Tak ada call number di punggung masing-masing buku. Tak ada mekanisme penyimpanan dan penemuan kembali yang sistematis.

Akibatnya, begitu ada perubahan dalam pengaturan kamar, maka penempatan buku, majalah, koran, kliping koran, menjadi chaos adanya.

Di bulan Agustus 2010, ketika memindah komputer agar kabel USB Wi-Fi cukup menyambung ke cantenna, antena kaleng roti Khong Guan buatan sendiri, yang saya parkir di atas genteng agar mampu menyambar sinyal hotspot di Wonogiri, membuat mutasi parkir bahan-bahan pustaka terjadilah. Buku yang biasa ada di pojok kanan misalnya, tiba-tiba entah ada di mana. Dan saat mencari-carinya kembali menjadi beban tersendiri.

Tetapi kondisi itu kadang juga memunculkan hikmah kecil. Kejutan kecil. Sering terjadi apa yang oleh kalangan ilmuwan peneliti disebut sebagai serendipity. Terjemahan kasarnya, kemampuan menemukan sesuatu ketika sedang mencari hal lainnya. Madame Curie (1867-1934) dan Charles Goodyear, menghasilkan temuannya berupa partikel atom dan ban karet berkat sentuhan serendipity itu.

Hal ajaib yang saya temui di kamar awal September 2010 ini adalah menemukan kembali buku harian saya tahun 1980. Tahun itu pula saya pertama kali menjadi penduduk Jakarta. Sering jadi bahan ejekan teman kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin, saat membonceng motor Hondanya berplat merah mengarungi Rawamangun-Pramuka-Diponegoro-Sudirman-Kebayoran Baru. Orang Suruh Salatiga yang sudah lama tinggal di Jakarta itu mengejek orang Wonogiri yang baru di Ibukota.

Juga tahun itu sebagai awal saya menjadi mahasiswa JIP-FSUI. Tes wawancara berlangsung di Ruang 1 Unit 1 FSUI, saya tuliskan di buku harian sebagai "biasa-biasa saja." (Selasa, 15 Juli 1980).

Saya sudah lupa bahwa saat itu saya mengobrol dengan Rizal Saiful-haq, teman kuliah lainnya, yang kemudian beranggapan bahwa jawaban "biasa-biasa saja" saya itu sebagai indikasi bahwa saya bakal tidak lulus tes sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan. Tetapi buku harian saya tertanggal Kamis, 16 Oktober 1980, ada catatan lain berbunyi : "Jadi guide belajar K & K untuk Rizal."

Sebelumnya, catatan Hari Kamis 18 September 1980 tergurat : Kuliah PIP (Pak Royani), laporan isi majalah Library Trends di muka kelas. Kualitasnya jauh dari lengkap, tapi performans di muka kelas saya ubah menjadi panggung lawak : "mulut-mulut tertawa, mata-mata bersinar, wajah-wajah gembira."

Saat itu saya benar-benar sok tahu, melaporkan topik yang tidak saya kuasai. Karena tiba-tiba Pak Royani meminta saya bercerita mengenai isi artikel pertama majalah itu : pengembangan perpustakaan di correctional facilities. Saya tidak tahu istilah ini. Yang tahu adalah sarjana Sastra Inggris UGM, Magdalena Lumbantoruan dari LPPM, dan dia lalu menjelaskan artinya saat itu pula. Penjara.

Saya merasa mati rasa di panggung saat itu. Istilah komedinya, kena bom. Mampus. Saya membahas tentang perpustakaan penjara yang saya tidak tahu tentangnya. Tetapi syukurlah, saya masih punya sedikit akal bulus : mampu mengubah kebodohan itu menjadi pentas tertawaan.

Hari Radio 11 September 1980. Tanggal ini juga HUT-nya Pak Sulistyo Basuki. Mata kuliah pertama Hari Kamis itu adalah MKI-nya Pak Junus Melalatoa. Saat itu saya ditegur Zulherman : "Anda tidak cerah hari ini." Zul Anda tahu sebabnya ? Saat itu saya tidak punya uang.

Siangnya, sialnya, lalu ada tes dadakan Bahasa Perancis yang diampu oleh almarhumah Ibu Nurul Oetomo. Bu dosen yang charming. Teman sekelas dari jurusan bahasa Inggris, termasuk Siti "Upik" Rabyah Parvati (putri Sutan Syahrir), Astrid Zaskya, Margareta A. Malik dan Sylvia, sering menggoda dan mencandai bahwa "saya adalah murid favorit dari Bu Nurul itu pula" :-)

Catatan saya sebulan kemudian, Kamis, 23 Oktober 1980 : "Hari itu dipelonco bu Nurul, bhs Perancis, (diminta) membaca, baca, baca !" Itu terjadi karena lidah Jawa medok saya masih kesulitan ber-parler francais secara berfasih-ria.

Kalau tes, saya sering nyontek pekerjaan Upik tersebut. Ia pernah menulis surat pembaca di harian Tempo dan saya ledeki sebagai himbauan untuk rakyat Indonesia agar menjadi golput. Upik merengut, tetapi bukan tanda marah. Melainkan tanda senang memperoleh komplimen yang tak terduga atas surat pembacanya. Saya pernah memberikan daftar artikel ilmiah yang terkait topik skripsinya, tetapi ketika bertemu lagi di Perpustakaan LIA Pramuka dan saya tanya tentang skripsinya itu, Upik hanya bilang : "Ah, forget-lah…"

Sebelumnya, Rabu 27 Agustus 1980, saya main-main ke TB Gramedia, Blok M. Membeli dua buku. Yang nraktir karcis biskotanya adalah Zulherman. Zul bersama Teddy adalah raja karcis bis kota di antara Angkatan 1980. Teddy pernah cerita saat ikut gathering mahasiswa Jurusan Perancis ("yang cantik : Dewi Primawati, ingat Ted kau yang memotretnya atas pesanan saya ? Pesta nikahnya Dewi itu di India.") bahwa hobinya adalah mengumpulkan karcis bis kota. Kondektur !

Mungkin Haris "Mr. Daripada" Nasution (almarhum) yang bukan Batak tetapi Jawa asli asal Madiun dan M. Djuhro, juga raja karcis bis kota. Pernah di Kampung Melayu, gara-gara pakai karcis, saya dan Bakhuri jadi diomeli kondektur. Mungkin dia merasa curiga, tua-tua kok masih mengaku sebagai mahasiswa.

Rabu, 20 Agustus 1980. Tertulis : Muncul ide menerjemahkan buku Library Power-nya James Thompson, bersama kawan-kawan. Ide ini, syukurlah, yang masih ingat momennya adalah kini kakek tercinta beberapa cucu, yang menjabat sebagai Begawan Akik Sakti, pemilik gerai bengkel dan toko batu mulia Safir Andaru di Ciledug, Subagyo Ramelan. Thanks Bag. Padahal aku sudah lupa, kapan aku menyampaikannya di kelas.

Di catatan harian, juga tidak ada. Mungkin jualan ide itu aku lakukan saat kuliah pertama PIP, Kamis, 21 Agustus 1980. Saat itu dalam introduksi masing-masing saya menyombong, "sebagai Kepala Perpustakaan Universitas ASEAN, calon."

Teman ngobrol saya saat itu antara lain Reno Ilham Nasroen, yang kini berstatus sebagai Neli. Nenek lincah. Tanpa kebaikan hati Errie pasti saya tak bisa ikut wisuda, 5 Januari 1985. Karena saya memiliki tabungan tulisan di majalah Pembimbing Pembaca (Balai Pustaka), yang antara lain Errie jadi redaksinya, saya lalu berhutang honor secara prematur atau ijon untuk menebus toga wisuda. Makasih, Errie.


Memotret para dosen. Seingat saya, saya tidak pernah ikut kuliahnya Ibu Rusina (foto). Tetapi saya pernah memotret beliau, juga semua dosen JIP-FSUI, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan di Indonesia. Foto-foto itu ikut dipajang pada pameran yang dilaksanakan di Gedung Kebangkitan Nasional, November 1982.

Kaitan antara saya dengan Ibu Rusina sedikit banyak terbentuk dua tahun sebelumnya. Ketika FSUI mengadakan Pasar Murah HUT/Dies FSUI Ke-40, November 1980. Mahasiswa JIP-FSUI diberi mandat membuka gerai pasar buku murah. Kebetulan saya, Arlima Mulyono ("Ibu Soma memuji Ipit dan saya :-) sebagai memiliki tulisan bagus") dan Sri Mulungsih bertugas memajang buku-buku dari penerbit dan toko buku Djambatan, Jl. Kramat Raya. Pemiliknya masih berkerabat dekat dengan Ibu Rusina.

Supervisor pameran saat itu, almarhum Bapak Dr. Karmidi Martoadmojo. Saya dengar kabar wafatnya Pak Karmidi baru pada tanggal 23 Juli 2010. Saat itu, sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia saya diundang presentasi dalam acara Jagongan Media Rakyat (JMR 2010), 22-25 Juli 2010, di Jogja National Museum. Sungguh ajaib, di penginapan, saya sekamar dengan anak muda yang bersama dua kawannya, tiba-tiba malam itu ngecuprus, bincang-bincang asyik, tentang perpustakaan.

Antena saya langsung menyuruh untuk nimbrung obrolan mereka. Anak muda itu bernama Hendro Wicaksono, penemu/pengembang peranti lunak katalogisasi dan klasifikasi bahan pustaka secara online. Mereknya : Senayan. Saya bangga akan prestasi dirinya itu !

Selain berbagi kabar duka tentang Pak Karmidi, juga meninggalnya Wakino yang petugas perpustakaan JIP-FSUI, Hendro dan saya mengobrol sampai meliwati pucuk malam di wisma penginapan yang bekas Kampus ASRI itu, yang konon salah satu ruang kelasnya pernah dipakai mahasiswanya untuk bunuh diri. Termasuk mengobrolkan isi bukunya Eric S. Raymond, The Cathedral and the Bazaar (1999), yang secara ajaib sama-sama kita sukai !

Ngobrol punya ngobrol, Hendro adalah alumnus JIP-FSUI 1994. Ia kini mengelola perpustakaan di Kementerian Diknas di Senayan, yang bahan pustakanya merupakan limpahan dari koleksi British Council. Di Perpustakaan Diknas ini, gara-gara koneksi Bakhuri, saya di tahun 1984 sempat juga menjadi tenaga bayaran sebagai petugas katalogisasi & klasifikasi.

Setelah Hendro cabut dari wisma dan kembali ke Jakarta, saya ketemu dengan nara sumber lainnya. Sama-sama memakai nama Hendro. Dr. Hendro Sangkoyo. Ia di JMR 2010 mengupas masalah kekejaman korporat terhadap rakyat yang sudah menderita akibat bencana luapan lumpur panas di Sidoarjo. "Dari mengobrol sepintas, kita adalah teman," begitu tutur Mas Hendro yang plontos itu. Setuju.

Baru-baru saja ia menulis di Kompas, 28/9/2010, berjudul "Lahirnya Generasi Baru Pembalikan Krisis : Catatan Untuk Alexander Supeli." Saya suka istilah "pembalikan krisis" darinya itu. Mungkin kebetulan saya bisa bertemu Hendro dan Hendro itu, karena ayah saya bernama Kastanto Hendrowiharso ?

bambang haryanto,jip-fsui,rusina syahrial-pamoentjak,universitas indonesia,jurusan ilmu perpustakaan

Ibu Rusina dan Saya : 1982. Kaitan selanjutnya antara saya dengan Ibu Rusina terjadi dua tahun kemudian. Tepatnya 3-4 Februari 1982. Saat itu JIP-FSUI menyelenggarakan Loka Karya Pemanfaatan Media Teknologi Untuk Promosi Perpustakaan Perguruan Tinggi (foto).

Moderator untuk salah satu presentasi makalah saat itu antara lain adalah Ibu Rusina, dan saya yang masih berstatus mahasiswa saat itu menjadi nara sumbernya. Sebagian teman konon kemudian berkasak-kusuk bahwa "sejak presentasi itu Bambang punya tingkah laku, gaya berjalan dan memiliki ukuran kepala yang berbeda. Bahkan gaya merokoknya pun berbeda, karena kini ujung yang dihisap adalah ujung rokok yang menyala :-("

Peristiwa penting lain dari hidup saya di tahun 1982, selain meninggalnya ayah saya 9 Desember 1982, saat itu saya jatuh cinta sama mahasiswi Diploma Sastra Perancis (1981). Ia setahun kemudian merangkap berkuliah di Jurusan Arkeologi. Namanya : Widhiana Laneza.

Saat Ospek 1982, kebetulan Teddy jadi tukang potret (dokumentasi ospek), lalu saya minta Teddy untuk memotretnya. Foto itu masih ada, warna dan detilnya telah memudar, tetapi kenangannya masih begitu jelas tergambar.

Teddy adalah teman sejati. Selain pernah mengenalkan saya stuff bernama "Stud" saat saya tidur di tempatnya, di Cipinang Lontar, ia berhasil dengan baik memotret Anez itu. Oh ya, baru-baru ini (September 2010) ketika saya memunculkan obrolan tentang stuff itu via SMS, Teddy merasa tidak ngeh, sudah lupa sama sekali.

Lalu ia bertanya : "Apakah saya sudah dilanda gejala pikun ?"
Menurut saya sih tidak.

Kuncinya terletak pada masalah manajemen memori, manajemen kenangan. Kalau kejadian sehari-hari tidak pernah kita catat, maka antara hari satu dan hari lainnya akan seperti nampak sama. Dalam setahun, himpunan 365 hari itu akan hanya mirip gumpalan kenangan tanpa makna.

Bila tahun dan tahun itu kita lewati, di mana antara satu gumpalan dengan gumpalan lainnya hanya nampak identik, seperti bulir-bulir tasbih, maka tahun berlalu menjadi nampak cepat sekali.

Kalau dicatat, maka setiap hari mampu menjadi unik. Mungkin seperti sidik jari. Ketika membacanya kembali, semua kenangan itu hadir seperti film yang berparade di depan mata kita. Bagi saya sungguh menakjubkan ketika merasakan otak ketika bekerja, memanggil kenangan masa lalu, kemudian semakin diawetkan dengan menuliskannya untuk dibagikan kepada orang lain. Informasi akan menjadi berguna hanya bila dibagikan, bukan ?

Photobucket

Hasil jepretan Teddy di tahun 1980 itu (foto di atas) sudah Anez (barisan paling depan kanan) terima. Dalam kesempatan apel di Cilandak saya pernah didongengi ayahnya, di meja makan, mengenai beragam makanan khas Senegal. Tetapi jatuh cinta saya dengan Anez itu tidak berhasil. Tak ada kontak lagi sejak tahun 1987 antara kita. Walau pun demikian energi cinta itu sempat menjadi buku kumpulan humor satwa. Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Termasuk berisi lelucon tentang anjing, satwa yang disukai Anez. Kemudian pada salah satu blog saya, yang saya tulis sekitar tahun 2004, dirinya saya gurat sebagai salah satu wanita indah dalam hidup saya.

Setelah delapan belas tahun, kaitan antara kita terjadi lagi. Tanggal 22 Desember 2005, tiba-tiba saya mendapat kiriman email dari seseorang yang tidak saya kenal. Tetapi subjeknya : Widhiana Laneza. Email itu dari kakaknya, Verdi Amaranto, yang saat saya main ke Cilandak dulu itu ia masih menuntut ilmu di Paris.

Mas Anto cerita, bahwa melalui bantuan Google, dirinya telah menemukan blog saya yang memajang nama adiknya itu. Lanjut cerita, ia ingin memberi kabar : Di Denpasar, 20 Desember 2005, Widhiana Laneza telah meninggal dunia. Tiga hari setelah pernikahannya.

Kembali naik JIP lagi. Dua tahun kemudian, 1984, Ibu Rusina, Ibu Lily K Somadikarta, Ibu Soenarti Soebadio, juga Siti Sumarningsih, mendapat undangan menjadi nara sumber loka karya perpustakaan perguruan tinggi di Kampus Universitas Diponegoro, Semarang. Saya juga ikut menjadi nara sumber, walau skripsi belum rampung, dan harus usung-usung beragam hardware untuk presentasi di Aula Perpustakaan UNDIP di Pleburan itu.

Saya sempat menuliskan hasil perjalanan itu di Majalah KJIP, juga sembari mengutip isi bukunya Alvin Toffler, The Third Wave (1982), dan rada bercanda bahwa kami "saat itu benar-benar menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Karena kami tinggal di Hotel Blambangan."

Saat itu saya meminjam paksa tape recorder inventaris JIP-FSUI yang digunakan oleh AC Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, saat mensigi pendapat para pustakawan di lingkungan UI tentang pendirian perpustakaan pusat UI. Obrolan saat itu dengan Ibu Endang Pratiwi, pustakawati Fakultas Psikologi UI, telah saya gunakan sebagai senjata "merayu" suaminya, Prof Sarlito Wirawan Sarwono, di tahun 2004. Mungkin berkat rayuan itu yang membuat beliau sebagai juri bersama Maria Hartiningsih dan Tika Bisono, jadi terbujuk memenangkan saya dalam Mandom Resolution Award 2004.

Kembali ke survei terkait perpustakaan pusat UI. Nara sumber favorit kita bertiga saat itu adalah pustakawati Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. mBak Winda. Ia cantik sekali.

Tape recorder yang stereo itu sering menjadi rebutan pemakaiannya antara Teddy dan saya. Kalau Teddy suka lagu-lagu slow rocknya Scorpion, tape recorder inventaris JIP-FSUI itu di Semarang saya gunakan untuk menguping kaset duo America. Salah satu lagu favorit saya adalah : "A horse with no name." Dan juga dari duo Simon & Garfunkel : "The only living boy in New York."

Meloncat tahun 2010. Rizal Saeful-haq telah berbaik hati menulis di wall akun Facebook saya (29/9/2010). Terima kasih, Rizal.Berisi berita duka :

"Ya Allah, berkahilah segala amal mulia Guruku, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak. Jadikanlah ilmu yang diajarkannya kepada kami dan diwariskannya kepada generasi-generasi sesudahnya menjadi ilmu yang manfaah, menjadi amal yang pahalanya selalu mengalir. Ampuni segala dosanya, masukkanlah dia ke dalam golongan hamba-Mu yang shalehah. Limpahilah kami kekuatan untuk meneruskan perjuangannya. Amin Ya Rabbal 'Alamin!"

Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak wafat tanggal 28 September 2010.
Dalam usia 85 tahun.

Kabar duka itu kadang merujit-rujit sisi terdalam hati saya. Juga saat menulis catatan ini. Kenapa aku baru menulis kenangan untuknya, ketika beliau sudah kembali keharibaan Allah ? Kenapa kita tidak menulisnya ketika beliau-beliau, para dosen kita itu, saat masih bisa bertegur sapa dengan kita, walau pun hanya lewat dunia maya ?


Wonogiri, 30 September 2010

Labels: , , , , , , , , ,

Thursday, January 28, 2010

Henin, Australia Terbuka 2010 dan Widhiana Laneza




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


The China Syndrome.
Sebuah idiom dari disiplin ilmu fisika nuklir.

Juga judul film terkenal tahun 1979 yang dibintangi Jane Fonda dan Michael Douglas. Idiom itu menggambarkan bila terjadi bencana pada sebuah reaktor nuklir, bangunannya akan meleleh. Maka semua muatannya akan merembes ke tanah. Hingga mampu menjangkau sampai ke negeri China.

Idiom yang sama dalam ranah di luar fisika nuklir justru menunjukkan China sebagai ancaman. Sebagaimana tulis Justin Lahart di Wall Street Journal (6/10/2005), sindrom China itu merujuk pada “tingkah laku, kebijakan atau situasi yang karakteristiknya terkait China, juga potensi atau bencana itu sendiri yang utamanya melibatkan China,” tulisnya.

Ia lalu memberi contoh sindrom China yang terjadi pada Korea Selatan. “China kini menguasai 20 persen dari total perdagangan Korea Selatan,” tulisnya. Mengamini konteks yang digaris oleh Justin Lahar tersebut maka sindrom China juga telah mengamuk di Indonesia.

Top korupsinya. Saya pernah menulis opini pendek di kolom “Smes,” di Kompas (15/5/2004) ketika berlangsung turnamen bulutangkis beregu Piala Thomas dan Uber 2004 :

“Lihat produk yang diasong di KRL Bogor-Jakarta, mulai dari jarum, peniti, gunting kuku, korek kuping, hingga korek api gas dan seabrek produk manufaktur lainnya. Hampir dipastikan semuanya itu buatan China. Serbuan China kini juga telah emnghancurkan tim Uber dan tim Thomas kita di kandang sendiri. Apa lagi yang bisa dibanggakan dari negeri yang korupsinya top ini ?”

Terkait wabah korupsi dan olah raga, saya saat ini justru memimpikan serbuan China ke Indonesia. Sebagai ilham dan praksis untuk menghentikan, atau menghancurkan apa yang menjadi sinyalemen mantan pelatih PSMS Medan, Parlin Siagian (Kompas, 25/1/2010) : “Kompetisi sepakbola kita dikuasai mafia. Jadi semua tim menghalalkan segala cara untuk menang.”

Kita harus meniru China.

Utamanya tentang gebrakan pemerintahnya seperti dilansir Xinhua (27/1/2010) tentang beberapa petinggi Chinese Football Association (CFA), PSSI-nya China yang ditahan untuk investigasi. Termasuk wakil ketua CFA, Nan Yong dan Yang Yimin, dan juga Zhang Jianqiang, mantan direktur asosiasi wasit. Semua diduga terlibat skandal suap terkait pengaturan skor hasil pertandingan.

Chindia Rising. Di kancah tenis dunia, sindrom China juga menggetarkan pentas Australia Terbuka. Lolosnya dua petenis putri China, Li Na dan Jie Zheng, di semifinal pesta Grand Slam pembuka 2010 itu merupakan sisi lain dari wajah kebangkitan negeri Tirai Bambu itu.

Realitas ini meneguhkan tesis Dr. Jagdish N. Sheth, Charles H. Kellstadt Professor of Marketing dari Emory University’s Goizueta Business School (AS) dalam bukunya, Chindia Rising : How China and India Will Benefit Your Business (2008). Kebangkitan China dan India, menurutnya, akan memakmurkan dunia.

Sementara kebangkitan petenis China, Li Na, siap mengobrak-abrik urutan daftar 10 petenis top dunia. Walau di semi final ia kalah dari “the lady jumbo” Serena Williams,7-6 dan 7-6, fakta itu menggariskan sejarah betapa dalam lima kali bentrokan Li Na mampu meladeni dengan ketangguhan ibarat Tembok China. Bahkan ia pernah menaklukkan Serena di tahun 2008. Sindrom China akan lebih mengancam di lapangan tenis wanita pada masa-masa mendatang

Jangan lupa Jie Zheng.

Ia mencatatkan sejarah sebagai petenis China pertama lolos ke semifinal Australia Terbuka. Pentas yang sama juga ia duduki saat terjun di Wimbledon 2008. Di Melbourne, tempat ia meraih juara dobel di tahun 2006, ia bilang, “lapangan ini memberi keberuntungan pada saya. Saya berharap perjalanan saya akan berlanjut.”

Ia katakan itu sesudah sukses menekuk Maria Kirilenko, 6-1 dan 63. Tetapi di semifinal ia menghadapi pelaku kisah dongeng, Justine Henin. Jie Zheng yang masa kecilnya menekuni bulutangkis itu harus mengakui keunggulan petenis Belgia, 6-0 dan 6-1.

Impian milyaran warga China untuk melihat dua petenisnya berlaga di puncak, tertunda. Boleh jadi, justru karena hal itu mereka mungkin semakin menggenggam pesan Konfucius tentang karakter seorang juara. Juga pantas kita camkan ajarannya :

“Seorang juara bukanlah mereka yang tidak pernah kalah. Tetapi mereka yang kalah, dan terjatuh, tetapi selalu mampu untuk bangun kembali.”

Kini final di hadapan mata kita.
Hari Sabtu, esok. Siapa juaranya ?
Henin atau Serena ?

Komentator tenis terkenal di televisi Star Sports, Vijay Amritaj, memilih : Serena.

Kontributor tenis untuk ESPN.com, Ravi Ubha, menjelaskan pelbagai fakta sejarah tentang peluang come back-nya seseorang petenis untuk meraih juara.

Data yang dijejer wartawan tenis berpangkalan di London, lulusan jurusan bisnis McGill University dan diploma jurnalisme dari Concordia University, keduanya Montreal, Kanada, menarik.

Misalnya, Kim Clijsters.
Gelar sebelum come back, 1. Sesudahnya : 1.
Jennifer Capriati : 0-3.
Bjorn Borg : 11-0.
John McEnroe : 7-0.
Monica Seles : 8-1.

Maaf Vijay. Maaf Ravi.

Saya lebih menjagoi Justine Henin untuk meraih juara. Serena Williams yang permainannya penuh tenaga dan brutal itu, akan hanya membuahkan angka-angka unforced error yang bertubi-tubi bagi dirinya. Ia pun akan frustrasi. Ingat, ia didenda berat karena memaki-maki penjaga garis yang berwajah Asia ?

Serena yang meledak-ledak akan menabrak dinding yang dibangun Henin, dengan ramuan ketegaran mental, kekomplitan dan variasi permainan yang kaya. Dan lihatlah, walau hanya memiliki tinggi badan 1.68 m (Serena : 1.75 m), petenis kelahiran Liege 1 Juni 1982 itu memiliki kecepatan serta footwork yang mampu menjaga inci demi inci lapangan.

Jangan lupa kesaktian backhand satu tangan, yang menjadi senjata andalannya. Bahkan seorang John McEnroe mengatakan bahwa backhand satu tangan Henin itu sebagai yang terbaik, baik bagi petenis wanita atau pria saat ini, yang merupakan modal dahsyat Henin sehingga mampu bertahan sampai kini.

Belum lagi seorang legenda Martina Navratilova ketika berlangsungnya turnamen Perancis Terbuka 2007 sampai perlu mengatakan bahwa ,“permainan serang Henin itu fenomenal…seperti kita melihat aksi seorang Federer perempuan.”

Sudahlah. Saya menjagoi Henin, siap deg-degan, siap pula kecewa, karena : “Ini masalah pilihan hati, Vijay. Ini masalah emosional, Ravi.”

Barangkali ini perwujudan dari indra keenam. Persis seperti nama pusat pelatihan tenis yang dihasilkan dari kolaborasi Justine Henin dan pelatihnya, Carlos Rodriguez, yang diresmikan Mei 2007 dan bernama indah : 6th Sense Academy.

Ketika lolos menuju semi final ia berkata : “Saya memiliki mimpi. Saya berusaha berjuang sebaik mungkin. Bila pun nanti kandas, semuanya terasa luar biasa.”

Terima kasih, inspirasimu, Henin. Hal itu pula, terkait di luar masalah tenis, saya mendukung Henin karena semata-mata saya merasa memiliki kaitan dengan Belgia. Negeri inilah asal petenis yang lahir dari ayah Jose Henin dan ibu Françoise Rosière, berkebangsaan Perancis, guru sejarah yang meninggal dunia ketika Henin 12 tahun usianya.

Di ibukota Belgia, Brussels, adalah pula kota tempat almarhumah Widhiana Laneza dilahirkan.

Apakah kau di sana telah ketemu Françoise Rosière, Anez ?
Lalu saling cerita tentang sejarah Perancis. Atau tentang anjing. Bukankah anjingmu juga kau namai dalam bahasa Perancis, Grigri, yang berarti jimat itu ?

Mimpi itu memang telah lama kandas. Tetapi bagiku, momen itu, semuanya masih saja terasa luar biasa. Seorang Henin, hari ini, menjadi pemicunya.



Wonogiri, 29 Januari 2010

sfa

Labels: , , , , , , , , ,

Tuesday, December 22, 2009

Flashbacks of a Fool




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Penulis lirik. Lagu “Penny Lane” ikut teronggok di pojokan. Lokasi : sisi barat daya (?) toko buku QB, Jalan Sunda, Jakarta.

Di dekatnya terdapat rak buku-buku hukum, berhimpun dengan buku-buku tip memelihara anjing. Bukunya Jay Sankey, Zen and the Art of Stand-Up Comedy (1988), juga berada di sana. Kluster yang menggelitik : hukum, komedi dan anjing campur aduk jadi satu.

Lagu ciptaan Paul McCartney dari The Beatles tentang sebuah lorong kecil kota Liverpool itu pernah memicu kontroversi. Sobat saya Ardiyani, yang tinggal di Liverpool, pernah mengirimkan berita dari The Sunday Times (16/7/2007) bahwa nama itu hendak dihapus.

Karena terkait nama James Penny, juragan budak belian masa kolonial. Ah, Inggris, rupanya juga ketularan budaya munafik, karena ingin mengubur masa lalunya yang kelam.

Lagu “Penny Lane” itu terhimpun dalam buku kumpulan lirik-lirik lagu. Sebelum Internet marak, buku kumpulan lirik lagu-lagu merupakan salah satu buku yang menarik untuk ditengok ketika jalan-jalan ke toko buku.

Saya tidak tahu persis apa daya tariknya. Saya toh tidak mampu memainkan alat musik satu pun. Tetapi selalu saja terlintas, juga selalu naik dan turun, niatan ingin menjadi penulis lirik lagu.

Niatan itu sempat naik tensinya ketika menonton film The Rocker (2008) dan menikmati lagu ciptaan anak muda Curtis (Teddy Geiger) yang liriknya mengiris. Mengikuti lagu “Tomorrow Never Comes” yang muncul di film itu, benar-benar bikin iri. Iri kagum, bukan iri dengki.

Pada film tentang kesempatan kedua bagi Robert 'Fish' Fishman (Rainn Wilson), si penabuh drum bugil (yang mendunia karena disiarkan di YouTube) dalam meraih karier, sungguh mengagumkan mendapati anak muda yang mampu menulis lagu yang memiliki daya magis daya sedemikian mencengkam tersebut.

Lagu-lagu semacam itu, merujuk pengakuan anak muda jenius lainnya yang juga penyanyi dan pencipta lagu terkenal, Taylor Swift, tidak lain merupakan “musical diaries to record her feelings.”


The Butterfly Effect. Lagu menarik lainnya adalah “If There Is Something” dari Roxy Music dalam film Flashbacks of a Fool (2008). Daniel Craig, sang James Bond terbaru itu, menjadi bintang sekaligus produser film ini.

Film drama Inggris ini, disutradarai Baillie Walsh, berkisah tentang bintang film Hollywood yang berefleksi mengenai hidupnya setelah memperoleh kabar kematian sahabat karibnya di masa kecil.

Film ini antara lain menebar hikmah, bahwa kita pada umumnya tidak mau berubah kecuali bila dalam perjalanan hidup itu menabrak sesuatu yang keras, sesuatu yang mau tak mau harus membuat kita berubah. Pesan lainnya mungkin lajim dikenal dalam teori khaos dikenal sebagai efek kupu-kupu.

Adagiumnya yang terkenal, yang juga muncul dalam film The Jurassic Park (1997), bahwa “kepak sayap kupu-kupu di pelabuhan Sydney akan membuahkan badai di daratan China.” Merujuk fenomena itu, di era Internet ini, seorang blogger favorit saya, Jeff Jarvis, menulis bahwa “kecil sekarang adalah besar yang baru.”

Buktinya di Indonesia ada di depan mata kita semua. Gerakan menghimpun koin untuk mendukung Prita membuat lembaga pengadilan dan RS Omni Internasional yang menghukum Prita menjadi tidak ada artinya. Mereka kini berbalik status menjadi paria.

Gerakan sejuta Facebookers mendukung Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah juga telah membuat institusi hukum kita, termasuk wibawa Presiden SBY sendiri, tergerus habis citranya. Mereka kini juga pantas hanya berstatus sebagai paria.

Menabrak masa lalu. Efek kupu-kupu itu juga tergambar, walau tipis, dalam film Flashbacks of Fool. Yaitu saat sang tokoh Joe Scot (Daniel Craig) setelah gagal bunuh diri karena kariernya di Hollywood habis, kembali ke kampung halaman di desa kecil berpantai di Inggris.

Untuk menengok kuburan teman karibnya. Tetapi dirinya harus juga memergoki parade kenangan masa lalu, sekaligus mendapati konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan di masa lalu. Termasuk mendengar kematian Evelyn. “Tertabrak kereta api, dan kepalanya tidak ditemukan. Konon digondol oleh sekawanan anjing,” demikian kabar yang Joe terima.

Evelyn adalah ibu muda binal, tetangganya, suka selingkuh dan gemar daun muda. Ia pula yang menggoda Joe muda dalam petualangan seksnya yang pertama. Kesalahan yang harus ia bayar, yaitu putus cinta dengan Ruth, kekasihnya.

Ketika keduanya dibakar nafsu birahi, anak gadis Evelyn seumuran TK itu diusir dari rumah. Agar bermain-main sendiri di pantai. Ia pun bermain-main, termasuk asyik berayun-ayun di atas sebuah ranjau laut. Ranjau itu kemudian meledak. Kejadian itu pula yang membuat Joe muda kabur dari kampung halamannya.

Saat Joe mudik, ia juga menemui Ruth, gadis tercinta yang ia khianati, yang dulu pula ia tinggalkan. Masa lalu keduanya terukir indah dalam kilas kalik ketika berduet menyanyikan lagu “If There Is Something” dari Roxy Music dalam sebuah pesta.

Dalam kilas balik lainnya, pada percakapan keluarga Joe saat muda, sempat mencuat topik obrolan tentang masa lalu dan masa kini. “Ketika mendapati seseorang tua, yang terbaring lemah di ranjang mendekati kematian, dapatkah kita membayangkan apa saja yang ia jalani ketika pada masa mudanya ?”


Wanita indah. Umpama pertanyaan itu diajukan kepada saya, pada tanggal 20 Desember 2005, di sisi Widhiana Laneza, saya tidak tahu mau bilang apa.

Anez saat itu, tentu saja, bukan wanita tua. Saya tentu agak pangling, rambutnya saat itu menjadi pendek. Saya beruntung pada tahun 1980-an dikaruniai kesempatan untuk melihat saat rambutnya panjang tergerai. Melengkapi sosok ningratnya yang membuat saya jatuh cinta.

Juga untuk tahu dirinya dalam sepenggal kehidupannya : ketika Anez menjadi mahasiswi Diploma 3 Bahasa Perancis dan sekaligus mahasiswi Jurusan Arkeologi Fakultas Satra Universitas Indonesia.

Mosaik yang bisa saya ingat, antara lain, ketika berkunjung ke rumahnya, ia nampak antusias bercerita tentang anjing-anjingnya. Ada yang bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo. Pesona hubungan itu pula yang kemudian membuat saya bisa menulis buku (cinta) untuknya, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Dalam kesempatan lain, 1 Februari 1987, ia bercerita tentang fenomena ahli bengkok sendok dengan kekuatan paranormal, yaitu Uri Geller. Ahli psychic asal Israel ini lahir tanggal 20 Desember 1946.

Tanggal yang sama pada tahun 2005, adalah tanggal saat Anez meninggal dunia. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Jeruk Purut, dekat rumah orang tuanya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Lahir di Brussel, Belgia dan meninggal dunia di Denpasar. Tiga hari setelah hari pernikahannya.

Saya diberitahu berita pedih itu oleh kakaknya, Verdi Amaranto, 22 Desember 2005. Setelah ia melakukan googling di Internet. Ia juga memberi beberapa foto, termasuk foto Anez kecil (foto di bawah) dengan boneka anjingnya saat dijepret di Hanoi, 1969.

Kembalikan ke masa mudamu. Pada bagian akhir film Flashbacks of a Fool nampak Joe Scot memutar kembali piringan hitam lagu “If There Is Something.” Lalu ia menuliskan sebagian liriknya dalam sebuah surat. Untuk Ruth.

“Shake your hair girl with your ponytail
Takes me right back (when you were young)”

Ruth, gadis tercintanya masa dulu itu dan janda sahabat karibnya yang meninggal itu, nampak meledak dalam tangis. Tayangan keduanya saat berduet di masa muda menutup film pedih sekaligus indah itu. Lirik “If There Is Something” menggema, dan saya berharap Anez juga mendengarnya :

Goyangkan rambutmu dengan ekor kudamu
Kembalikan diriku (ketika kau muda dulu)

Lemparkan hadiah-hadiah indahmu ke udara
Saksikan ia berjatuhan di bumi (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Di tempat biasa kau tapaki (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika bukit-bukit semakin meninggi (ketika kita muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika pepohonan semakin menjulang tinggi (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika rerumputan semakin menghijau (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Di tempat biasa kau tapaki (ketika kau muda dulu)



Wonogiri, 20-22 Desember 2009

Labels: , , , , , , , , ,

Thursday, December 18, 2008

At The End Of A Song


 

Oleh : Bambang Haryanto


Tak ada mawar. “When I am dead, my dearest, sing no sad songs for me”. Itulah awal dari puisi yang ditulis Christina Georgina Rossetti (1830-1894), yang merupakan salah satu penyair wanita terpandang di Inggris. Ia menulis puisinya itu tiga puluh dua tahun sebelum meninggal dunia. 

Christina lahir sebagai anak terkecil dari keluarga Gabriele Rossetti yang seniman, pendekar revolusioner dan intelektual, sekaligus pelarian politik dari Napoli, Italia. Saudaranya, baik Dante Gabriel Rossetti yang pelukis dan penyair atau William Michael Rossetti yang kritikus dan sastrawan, tak kalah terkenal sebagai kaum terpelajar yang terpandang saat itu pula.

“Bila ku mati, kekasihku. Jangan lantunkan lagu-lagu duka untukku. Jangan tanam mawar di lahatku. Atau pohon sipres sebagai perindang. Biarkan rumput hijau menyelimutiku. Yang terguyur hujan dan embun basah. Ingatlah aku. Lupakanlah aku.”

Christina Rossetti meninggal dunia di London, 29 Desember 1894. Seratus empat belas tahun lalu. Tetapi nama, dan terutama karya-karyanya abadi. Ars longa, vita brevis. Memanglah, hidup itu singkat, tetapi seni abadi. 

“Ingatlah aku.” 

Mungkin itu dambaan universal bagi sebagian besar manusia. Baik ketika dirinya masih hidup, atau pun ketika sudah meninggal dunia. Ada sebuah cerita, rada getir, mengenai pesan “ingatlah aku” itu dalam sebuah surat wasiat. Konon seorang nenek membuat heboh keluarganya. Pasalnya ia berpesan bila meninggal dunia kelak, ia ingin jasadnya dikuburkan pada sebuah kompleks mall paling terkenal di kotanya. Alasannya : agar dalam seminggu dirinya akan senantiasa ditengok sebanyak 3-4 kali oleh anak-anak dan cucunya ! 


Bilah kemudi kecil. Keinginan yang manusiawi, keinginan untuk diingat itu, untuk tokoh atau seseorang tertentu terkadang diwujudkan dalam bentuk epitaph, pesan yang terukir di nisan. Seperti pesan tokoh proklamator kita, Bung Karno, yang ingin dikenang sebagai penyambung lidah rakyat. 

Bintang film Clark Gable ingin nisannya dituliskan kalimat “back to silents,” pengarang Ernest Hemingway (1899–1961) meminta tulisan, “maaf, saya tidak bisa bangun,” sementara pemenang hadiah Nobel Perdamaian Albert Schweitzer (1875–1965) ingin tulisan di nisan berbunyi : “Bila suku kanibal menangkapku/Saya harap mereka bilang, kami sudah memakan Dr. Schweitzer/Dan ia lezat sampai akhir…/Dan akhirnya tidaklah jelek adanya.”

Desainer dan arsitek besar R. Buckminster Fuller (1895–1983) seperti diungkap bukunya Stephen R. Covey, The 8 Habit (2006), ingin pada pusaranya tergurat kalimat, “hanya bilah kemudi kecil.” Luar biasa, seru Covey. Menurutnya, sebuah bilah kemudi kecil pada kapal atau pesawat adalah bilah kecil yang menggerakkan bilah besar yang digunakan untuk mengubah arah kapal. 
 
Kisah mengenai pesan di nisan yang mengharukan dapat juga direguk dari tulisan Bob Ross dalam bukunya Funny Business And The Art of Using Humor Constructively (1998. Ia bercerita mengenai seorang dokter yang dermawan. Ia menghabiskan hidupnya untuk membantu pengobatan warga miskin yang terpinggirkan. Ia sendiri tinggal di lantai atas sebuah toko kecil penjual minuman keras di lingkungan kumuh itu. Pada bagian depan kedai itu terpampang papan nama, “Dr. William Ada Di Atas.”

Karena dokter itu tidak pernah meminta bayaran untuk pasien-pasien yang tidak mampu itu, akhirnya ia meninggal dunia dalam keadaan miskin pula. Ia tidak memiliki uang tersisa untuk pemakamannya, bahkan untuk membeli batu nisan sekali pun. Akhirnya ia dikebumikan tanpa tanda apa pun, sampai akhirnya seseorang warga menemukan ide brilyan. 

Ia mengambil papan nama yang semula berada di toko minuman keras tadi, lalu memajang di makamnya, menghadirkan epitaph indah dan mengharukan sekaligus mencerminkan doa dan harapan banyak orang atas persemayaman abadi yang layak bagi sang dokter dermawan itu : “Dr Williams Ada Di Atas.”


Gunung bunga. Kenangan atau pengakuan terhadap jasa para tokoh besar yang meninggal dunia sering muncul dalam bentuk tulisan obituari di media-media massa. Kini berkat Internet, terutama blog, telah mampu mendemokratisasikan peluang untuk itu, yaitu kehadiran tulisan obituari oleh siapa saja dan untuk siapa saja. Obituari berbentuk blog itu saya sebut sebagai blogituari. Ada cerita mengesankan tentang obituari yang ditulis dalam sebuah blog mengenai sosok wong Wonogiri.

He was the first professional dhalang to live and teach in the United States. He taught at Wesleyan University in the late 1960s and later at the American Society for Eastern Arts (ASEA) and a number of California universities.” Begitulah potongan isi sebuah obituari yang yang ditulis seorang warga Inggris. Penulisnya bernama Matthew Isaac Cohen, profesor dari Royal Holloway, University of London. 

Tulisan bertanggal 6 November 2008 itu ia gurat untuk mengenang guru dalang wayang kulitnya yang meninggal dunia 5 November 2008. Beliau itu bernama Bapak H. Oemartopo (1936-2008). Domisilinya di Kajen Wonogiri. Ketua RT kampung saya. 

Tulisan Matthew Isaac Cohen itu kemudian memperkaya kenangan dan pengetahuan pribadi diri saya terhadap Bapak Oemartopo. Terentang sejak saya masih duduk di kelas 1 SMP Negeri 1 Wonogiri, 1967, sampai pertemuan terakhir, 19 Agustus 2008. Saat terakhir itu, sambil meminta tanda tangan beliau untuk surat mengurus perpanjangan KTP untuk KTP Nasional saya yang pertama, saya juga merekam video dengan kamera digital. Saya meminta pendapat beliau mengenai makna HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 63 bagi warga kampung kami dan warga Republik Indonesia. 

Dalam obrolan saya mencoba menyerap cerita beliau selama 12 tahun mengajar di AS dan 2 tahun di Hungaria. Saat itu sempat terlontar ucapan semacam nadar dari beliau, yang bila dikaruniai sehat berniat mengajak saya untuk mengikuti acara tahunan bertajuk World Music Workshop in Bali. Untuk ketemu antara lain dengan sobat-sobatnya, Dr. Robert E. Brown dari San Diego State University (AS) sampai Dr. Lewis Peterman, ahli musik Eropa dan pemain sitar Cina.  

Dari arsip yang ditulis oleh Dr. Robert E. Brown saya temukan kemudian data bahwa acara World Music Workshop in Bali 2005 yang juga diikuti oleh Pak Oemartopo saat itu, dilangsungkan di tempat yang disebut olehnya sebagai Flower Mountain, gunung bunga. Tepatnya di Payangan, Bali.

Tiga tahun kemudian, di Rabu siang, 5 November 2008, saya memang bisa ikut mengantar Pak Oemartopo menuju flower mountain itu. Bukan di Payangan Bali, tetapi di Kajen, Wonogiri. Saya ikut menjadi saksi ketika di atas pusara almarhum telah ditebarkan tanda cinta, tanda hormat, dan tanda belasungkawa oleh keluarga besar dan handai taulan yang mencintai beliau, sehingga akhirnya berwujud sebagai gunung kecil penuh bunga. Selamat jalan, Pak Oemar.
  

Catatan kemanusiaan. Catatan kenangan dan kesaksian tentang Pak Oemar kemudian memicu saya untuk mewujudkannya dalam sebuah blogituari. Nama blognya : Petruk Dadi Ratu. Nama itu diilhami judul lakon wayang bernada jenaka yang diajarkan oleh Pak Oemar untuk Matthew Isaac Cohen di Wonogiri, sekitar dua puluh tahun yang lalu. 

Blog tentang Pak Oemar itu bukan blogituari saya yang pertama. Dalam bentuk tulisan lepas, saya telah pula menuliskan beberapa kenangan untuk tetangga atau pun kerabat yang telah mendahului dipanggil Tuhan. 

Mereka-mereka itu orang biasa, sehingga jelas tidak terjangkau oleh liputan media massa. Tetapi karena setiap orang itu istimewa, alangkah bermaknanya bagi kemanusiaan bila kehadirannya di dunia bisa untuk dicatat pula. Dilestarikan. Diwariskan. Bahkan sebenarnya, hemat saya, pencatatan itu merupakan tuntutan bagi sejarah kemanusiaan.

Kevin Kelly, guru ekonomi jaringan, pernah menvisikan agar semua buku di dunia itu di-scan dan diterbitkan secara digital. Sehingga antara satu buku dan buku lainnya akan saling terkait, terhubungkan melalui hyperlink, baik melalui catatan kaki atau pun daftar pustaka yang ada. “The dream is an old one : to have in one place all knowledge, past and present. All books, all documents, all conceptual works, in all languages,” cetusnya.

Kajian mengenai keterhubungan antardokumen ilmiah itu, disebut dengan citation analysis yang kebetulan juga menjadi subjek skripsi saya di UI pada tahun 1980-an, dipelopori Eugene Garfield dari Institute of Scientific Information (ISI). Kemudian di era digital dikaji lanjutannya antara lain oleh mahasiswa Universitas Stanford bernama Larry Page dan Sergey Brin, yang kita kenal sebagai pendiri Google Inc, yang punya motto : Don’t be evil. Kajiannya itulah yang dewasa ini memunculkan Page Rank, sebuah algoritma yang berfungsi untuk menentukan situs web mana yang lebih penting atau populer. 

Terima kasih, Larry. Berkat Google pula, di antara milyaran umat manusia, saya baru tahu kemudian kalau diri saya di tahun 2005 tertakdir sebagai satu-satunya orang di dunia yang mengabadikan nama seseorang, Widhiana Laneza, di dunia maya.


Warisan yang tidak terkubur> Keterhubungan itu, tentu saja, juga vital untuk kita manusia. Suksesnya situs jaringan sosial seperti Facebook merupakan bukti manifestasi dambaan manusia sebagai makhluk sosial. Keterhubungan universal sebagai salah satu pergeseran seismik global yang terjadi dewasa ini ditandaskan pula oleh Stephen R. Covey dalam The 8 Habit (2006). Ia merujuk buku Blown to Bits: How the New Economics of Information Transforms Strategy (2004) karya Philip Evans dan Thomas S. Wurster, yang menjelaskan betapa aliran informasi dan aliran barang dapat dipisahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah.  

Dalam konteks obrolan tentang blogituari, seseorang (= barang, maaf) boleh saja meninggal, tetapi warisannya (=informasi tentangnya) mampu untuk tidak ikut terkubur pula. Sebuah pesan singkat berikut ini cukup menarik untuk kita simak dan kita camkan : Do u know abt d things which live after death? Heart-10 mins, brain-10 mins, eyes-31 mins, legs-4 hrs, skin-5 days, bones-30 days, LOVE – FOREVER.

Tidak hanya cinta yang bisa abadi. Tulisan di blog juga bisa abadi. Dan mendunia. Berkat blog seorang guru dalang yang meninggal dunia dan dimakamkan Wonogiri, tetapi cerita tentangnya dapat terus hidup karena ditulis baik dari London, San Diego dan dari belahan dunia lainnya. Interaksi ini dimungkinkan berlangsung secara berantai dan terus berkesinambungan. Blogga (?) longa, vita brevis. Hidup itu singkat, tetapi isi blog abadi. 

Internet kaya dengan kisah semacam itu. Termasuk yang menyapa saya secara pribadi, tiga tahun lalu. Kejadian tidak terduga itu tepatnya terjadi pada tanggal 22 Desember 2005, hari Kamis, jam 9-an pagi, di Warnet Cosmic Wonogiri. Saat itu saya menerima email berikut ini :  


Mas Bambang,
Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan situs blog anda “Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list “wanita-wanita terindah” anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya.

Salam,

Anto,
kakaknya Anez.


Sebuah kluster blogituari ini kemudian hadir. Untuk meneruskan catatan jejak sejarah dirinya yang kecintaan terhadap satwa kesayangannya mengilhami untuk menulis sebuah buku (foto). Termasuk untuk mencatat cerita “Furkhanda.” Ia seorang mahasiswi Arkeologi UI yang mengatakan berniat meneruskan topik skripsi yang ditulis Anez sekitar dua puluh tahun lalu, di tahun 2008 ini. Atau tiga tahun sesudah dirinya berpulang ke pangkuan Allah. 

Semoga blogituari sederhana itu mampu merekam segurat kenangan bagi seorang perempuan menawan, kelahiran Brussel yang tutup usia di Denpasar, yang dengan meminjam lirik pembuka lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix, kini dirinya telah berjalan menembus awan. “At the end of a song,” begitu senandung indah Carpenters, “there's no one/after the last note is played/only the memory stays.



Bambang Haryanto, blogger kampung yang tinggal di Wonogiri. Ngeblog sejak 2003. Salah satu blognya Esai Epistoholica diundang untuk tercatat dalam direktori blog berkelas, Blogged.com, yang bermarkas di Alhambra, California, AS. Memenangkan Mandom Resolution Award 2004 dengan mengusung tesis manfaat blog untuk pemberdayaan komunitas kaum epistoholik atau pencandu penulisan surat pembaca sebagai salah satu pilar penegakan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. 

Labels: , ,

Sunday, January 29, 2006

”Now she's walking through the clouds” : Mengenang Anez, Asma, Anjing dan Asmara




Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com


Now she's walking through the clouds
With a circus mind
That's running wild
Butterflies and zebras
And moonbeams and fairytales
All she ever thinks about is riding with the wind

(Jimi Hendrix, “Little Wing”)



ANJING YANG MEROKOK. Komedian Steve Allen mengidap sakit asma. Tetapi dirinya merasa tidak punya masalah dengan penyakit gangguan kronis pernafasan itu.

Ia bilang : “Asma bukanlah gangguan bagi saya, kecuali bila saya berdekatan dengan rokok dan anjing. Satu hal yang sangat dan paling mengganggu saya adalah bila anjing-anjing itu merokok pula”

Bagi Riaty, Cresenthya Hartati atau pun Widhiana Laneza, pastilah saya pantas mereka daulat sebagai “anjing yang merokok pula.” Alias sebagai oknum pengganggu yang berpotensi membahayakan kesehatan mereka.

Karena memang mereka memiliki kesamaan yang saya tidak tahu mengapa terjadi begitu saja. Ketiganya sama-sama mempunyai sakit asma. Dan saat itu, saya adalah seorang perokok berat pula.

Perokok dan pengidap penyakit asma, jelas tidak matching. Inilah kemudian ilustrasi dari interaksi yang terjadi : bersama Ria yang saat itu berkuliah di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, kami pernah melakukan date aneh kala mengunjungi pameran buku Ikapi di kompleks Jakarta Fair di sekitar Monas.

Problem pribadi pun segera muncul.

Karena memiliki gangguan asma, Ria pasti sangat menderita apabila berdampingan dengan diriku yang juga tidak tahan untuk tidak merokok. Kompromi yang terjadi antara kita adalah : dalam mengelilingi stan-stan, mencari buku-buku kesukaan, kami kemudian memilih saling jalan sendiri-sendiri. Jalan bareng macam apa pula ini ?


HI-TECH, HI-TOUCH. Acara date dengan skenario aneh itu, secara tak terduga, sebenarnya juga ikut menyelesaikan masalah tambahan lainnya di antara kami. Aku dan Ria, selain untuk buku-buku humor, sebenarnya kami tidak memiliki selera terhadap subjek buku yang sama.

Ria yang beragama Islam, tetapi saat SMP dan SMA ia belajar di sekolah Katholik, menyukai (saat itu) buku-buku agama. Sementara saat itu, tahun 1986, aku menyukai buku-buku komputer.

Begitulah, setelah keliling-keliling pelbagai stan buku secara solo itu berakhir, kami lalu ketemuan lagi. Kami kemudian saling unjuk masing-masing buku yang dibeli, yang segera menampakkan betapa kontras selera kita. Ria dengan buku-buku agama dan saya dengan buku-buku komputer.

Kekontrasan itu memicu saya untuk mengeluarkan canda. Saya merujuk ucapan terkenal futuris John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan buku topnya, Megatrends yang saat itu lagi berkibar-kibar di dunia.

Dalam buku itu mereka sebutkan bahwa di masa depan akan hadir fenomena hi-tech, hi-touch. Artinya, ketika seseorang semakin terlibat dalam pemanfaatan teknologi-teknologi tinggi maka dirinya akan tergerak pula untuk menjadi semakin relijius.

Canda serius saya : “betapa ramalan Naisbitt dan Aburdene itu bukankah bicara tentang kita, Ria ?” Canda itu saya sampaikan ke Ria dalam bentuk surat. Memang begitulah salah satu ujud ritual antara kami selama ini.

Walau sudah ketemuan, atau telpon-telponan, tetapi untuk hal-hal yang masih perlu diobrolkan, kita senang hati saling menambahkannya dalam bentuk surat-surat yang panjang. Karena Ria suka bilang, “surat-surat Mas Hari sering saya baca tidak hanya satu kali”.

Yang Ria mungkin tidak tahu bahwa dalam menulis surat itu saya harus melek separo malam. Juga menghabiskan rokok berbatang-batang pula.


ORTU TERLALU PROTEKTIF ? Ria sebenarnya belum banyak bercerita mengenai sakit asmanya. Ia juga tidak rewel tentang kebiasaan jelekku, merokok itu. Yang bisa saya kerjakan : saya tidak akan merokok ketika ketemuan sama dia.

Ria adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang pemimpin redaksi sebuah newsletter ekonomi yang terkenal. Kalau di rumah, saat dipanggil oleh ibunya dengan “Ria sayang”, terdengar Ria segera membalasnya : “Ya, mama, sayang”.

Bagi saya, yang berasal dari kultur kota kecil Wonogiri, sahut-sahutan dengan menonjolkan kata “sayang” seperti itu menurut saya rada berlebihan. Silakan mencap saya sebagai kampungan. Mungkin saya sedang mengalami benturan budaya, budaya urban vs. budaya desa.

Tetapi ekspresi kasih sayang yang bagiku rada-rada too much itu, mungkinkah merupakan wujud sikap orang tua yang terlalu protektif, terlalu melindungi anak-anaknya ?

Dan ini hanya kabar burung, bukan info medis yang sahih, konon justru sikap orang tua yang terlalu melindungi tersebut merupakan pemicu utama timbulnya penyakit asma pada anak-anak mereka. Itukah pula yang terjadi pada diri Ria ?

Saya tidak tahu.

Dalam suatu kesempatan lain, Ria saya jemput di kampus dan kami bersepakat keluyuran ke Pasar Seni Ancol. Ia nampak menikmati jalan-jalan seperti itu. Ia bilang, sejak SMP ia belum pernah mengalami “kebebasan” seperti ini. Juga menambahkan, kalau saja ketahuan orang tuanya, pasti dirinya akan habis-habisan dimarahi.

Benarkah limpahan kasih sayang yang berlebihan justru menjadi penyebab timbulnya penyakit asma ? Diagnosa yang mungkin, sekali lagi, kampungan. Barangkali yang benar justru yang sebaliknya.

Karena anaknya menderita sakit asma, maka kondisi rawan tersebut memicu orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya secara ekstra dalam memberikan perhatian, perlindungan dan kasih sayang. Pendekatan yang dapat kita maklumi.


MENGAKU SAKIT ASMA. Diagnosa yang sama mungkin berlaku atau tidak berlaku untuk seorang Cresenthya Hartati. Ia anak terkecil dari enam bersaudara.

Gadis artistik dan cerdas lulusan SMA Tarakanita 2 Pluit Jakarta ini, yang kadang rada-rada reckless, punya tulisan tangan yang indah serta dikaruniai kaki menawan ini, ketika berkuliah di Desain Produksi Universitas Trisakti mengaku memiliki kedekatan dengan mamanya.

Tetapi karena mamanya keburu meninggal dunia saat Hartati masih duduk di sekolah dasar, ia kurasa seperti merasakan sebuah “lubang besar”, kekurangan kasih sayang dalam masa-masa ia menginjak dewasa.

“Mas Hari, aku punya sakit asma”, akunya terus terang. Itulah sebagian ritual “buka-bukaan” yang suka ia lakukan, yang masih saya ingat. Ketika kita bersepakat untuk jadian maka kita saling membuka diri tentang diri kita apa adanya.

Hartati melakukannya secara agak sistematis. Dengan membuka catatan-catatan riwayat pribadi yang ia tulis sendiri. Ia pun menambahkan, “untuk semua sedihku, hanya pernah aku ceritakan kepada kamu.”


Aku kini menjadi rada bingung. Dalam kasus Ria, limpahan kasih sayang yang berlebih diduga menjadi penyebab ia menderita asma. Sebaliknya pada kasus Hartati, yang mengalami defisit kasih sayang dari orang tuanya, toh dirinya terus terang mengaku mengidap sakit asma juga. Bagaimana pula ini ?

Baiklah, biarlah kebingungan itu biar aku simpan sendiri saja.

Di sisi lain dari pengakuan Hartati itu, bagi saya, malah terasa sebagai suatu ofensif. Serangan untuk diriku pribadi. Apalagi kemudian, berbeda dengan Ria yang tidak rewel dengan kebiasaan merokok saya, Hartati justru berkali-kali menjadikan topik ini sebagai obrolan.

Misalnya dengan mengirimkan majalah atau guntingan artikel yang membahas mengenai bahaya merokok. “Aku pengin Mas Hari sehat-sehat. Juga bisa berumur panjang”, katanya lembut.

Itulah ujud perhatian dia.
Ujud cinta dia.

Tetapi sebagai lelaki, seperti halnya suatu pemerintahan, saya merasa tidak ada yang salah dalam kebiasaan merokok saya. Dengan merokok saya merasa lebih kreatif. Itulah sikap keras kepala. Merasa benar sendiri. Tidak menghargai pendapat pasangan tercinta.

Mungkin situasi yang terjadi antara dia dan saya tersebut mencocoki sebuah tesis bahwa wanita selalu ingin melihat pasangannya berubah, sementara lelaki tidak ingin pasangan perempuannya berubah, tetapi pada akhirnya keduanya hanya akan menjadi kecewa.

Desperado
Why don't you come to your senses
Come down from your fences
Open the gate


Memang sangat sulit merubah keyakinan seseorang. Juga untuk kebiasaan merokok. Seperti lirik lagu “Desperado” dari Eagles (1973), yang juga dinyanyikan oleh kelompok musik favorit saya, Carpenters, perubahan itu hanya bisa dimulai dari “dalam” diri orang bersangkutan

Bajingan tengik,
dengarkan kata hatimu
keluarlah dari pagar yang mengurungmu
dan bukalah pintu gerbangmu


Bujukan dan protes tulus Hartati itu akhirnya memang menjadi kenyataan. Saya mau membuka pintu gerbang perubahan dari dalam. Hal itu terjadi ketika suatu malam saya dipaksa berbaring sendirian di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur.

Saat itu saya merasa ada rasa perih-perih di dada saya. Mungkin istilah kedokterannya terkena angina pectoris. Istilah yang terdengar indah, tetapi menggambarkan kondisi defisit pasokan oksigen ke jantung yang bila berlanjut dapat mengancam jiwa.

Saat itu slang pemasok oksigen terpatok dalam lubang hidung saya. Kabel-kabel yang ujungnya dilengketkan dengan gel pada kedua pergelangan tangan, kaki dan dada, tersambung ke alat eletrokardiograf.

Saya tergeletak sendirian sambil cemas menyaksikan grafik berwarna kehijauan dengan latar belatang hitam itu menari, menggambarkan irama denyut jantung pada monitor peralatan eletrokardiograf. Mungkin itulah irama kehidupan atau kematian yang saat itu telah menantiku.

Pengalaman mendebarkan itu, lalu disusul peringatan dokter agar saya berhenti merokok, mendorong saya rela berjuang untuk berhenti merokok. Dan berhasil. Tetapi semua itu justru terjadi ketika saya dengan Hartati sudah bubaran.


Kembali ke masalah asma. Bagi saya, ada satu hal penting yang belum pernah Hartati ceritakan kepada saya. Kalau dirinya mengidap sakit asma, mengapa ia memelihara anjing-anjing di rumahnya ? Lebih berbahaya mana antara asap rokok dibandingkan dengan partikel dari bulu-bulu anjingnya ?

Apakah Hartati mencampur adukkan antara alergi dengan asma ? Ia sebenarnya hanya alergi terhadap asap rokok, tetapi tidak dengan bulu-bulu anjingnya, lalu membesar-besarkannya sebagai berpenyakit asma ?

Buku Corinne T. Netzer’s Big Book of Miracle Cures (1999) menjelaskan bahwa alergi dan asma bukan penyakit yang sama. Walau pun demikian, terdapat kaitan erat, tidak hanya gejala dan pengobatannya, tetapi faktanya penderita asma seringkali menderita akibat alergi.

Asma, faktanya, merupakan salah satu ujud alergi (baik alergi terhadap makanan mau pun alergi terhadap zat-zat yang terdapat udara) yang muncul. Walau pun demikian, penting untuk diingat, tidak semua penderita asma itu memiliki alergi.

Perbedaan besar antara asma dan sebagian besar alergi terletak pada tingkat keparahannya. Sementara beberapa alergi (misalnya tersengat lebah) mungkin perlu dirujuk ke unit gawat darurat, tetapi sebagian besar alergi merupakan gangguan kesehatan yang hanya membuat tidak nyaman dan menjengkelkan. Sementara itu, asma merupakan gangguan kesehatan yang kronis dan dapat mengancam jiwa penderitanya.


Gejala umum alergi meliputi : hidung mengeluarkan ingus (cairan bening, kuning pekat atau kehijauan yang mengindikasikan gangguan flu atau infeksi sinus), sesek, bersin-bersin, hidung dan mata gatal, mata berair dan bergetah, kulit secara temporer berbisul, bengkak atau ruam.

Berbeda dari alergi, serangan asma tidak melibatkan organ hidung atau mata, walau pun batuk-batuk di pagi hari merupakan gejala yang umum.. Asma merupakan penyakit saluran udara dari paru-paru yang terkena radang dan iritasi.

Ketika serangan terjadi, otot-otot pembuluh tenggorokan berkontraksi, menyempit, menimbulkan gejala utama asma, meliputi : mengi, nafas mencuit-cuit, megap-megap, kesulitan menarik dan menghembuskan nafas, sampai irama bernafas yang cepat dan pendek-pendek.


Pengakuan Hartati mengenai penyakit asmanya, bagi saya, kemudian merupakan teka-teki yang belum terpecahkan. Yang pasti, saya belum pernah satu kali pun mendapati dirinya saat terkena serangan alergi atau pun asma.

Pernah ia agak kolokan, katanya tiba-tiba merasakan melihat objek yang ia pandang menjadi dua. Mirip pandangan seseorang yang mabuk alkohol. Tetapi keluhan aneh Hartati itu tidak perlu berlanjut lama-lama.

Seseorang di dekatnya meminta ia memejamkan mata dan segera Hartati mampu melupakan gangguan penglihatan yang dobel semacam itu. Apalagi ia lalu tenggelam, atau terbang melayang saat merasakan bibirnya dilumat oleh pria yang mencintainya.


ANEZ, ANJING KESAYANGAN DAN ASMA. Pada penghujung Desember 2005, asma tiba-tiba kembali menjadi perhatian yang sangat mengagetkan saya. Pemicunya adalah ketika saya memperoleh kiriman e-mail dari Verdi Amaranto, 22 Desember 2005 yang lalu.

Mas Anto ini adalah kakak tertua dari Widhiana Laneza, atau Anez, wanita indah semampai, yang membuat saya jatuh cinta kepadanya di tahun 1981 sampai tahun 1987.

Anez berkuliah di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Anez memiliki beberapa ekor anjing kesayangan, baik yang ia beri nama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo.

Sejak kecil Anez rupanya sudah suka terhadap anjing. Lihatlah, dalam foto di bawah ini yang dijepret di tahun 1969, di Hanoi, Vietnam Utara saat itu.

Image hosted by Photobucket.com

Widhiana Laneza


Pesona sosok Anez dan relasi uniknya dengan satwa-satwa kesayangannya itu telah memercikkan ilham bagi saya untuk menulis buku kumpulan lelucon satwa, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Yogyakarta : Andi, 1987).

Image hosted by Photobucket.com

Cerita Untuk Anez


Anez, anak ketiga dari empat bersaudara. Adiknya Liana Rasanti, meninggal dunia saat baru berumur setahun, 1965.

Anez memiliki sakit asma.

Dirinya menderita seperti halnya tokoh-tokoh dunia dari Peter Agung (Kaisar Rusia), Ludwig von Beethoven, Charles Dickens (pengarang), Marcel Proust (Novelis Perancis), Theodore Roosevelt (Presiden AS ke 26), John F. Kennedy (Presiden AS ke 42), Elizabeth Taylor (aktris), Martin Scorsese (sutradara film), sampai Dennis Rodman, pemain bola basket AS kontroversial yang nyaris sekujur badannya penuh “seni batik” tato itu.

Pertimbangan terkait sakit asmanya itu pula yang membuat Anez memilih bekerja di Bali, dibanding kota Jakarta yang tingkat polusinya begitu tinggi, yang pasti tidaklah ramah bagi penyakit asmanya itu.

Anez, kelahiran Brussels 28 April 1963, meninggal dunia di Jakarta dalam momen yang menggetarkan hati. Yaitu 3 hari setelah pernikahannya. Pada tanggal 20 Desember 2005 yang lalu.

Apakah Anez meninggal dunia akibat dari sakit asmanya juga ? Mas Anto belum secara eksplisit bercerita tentang hal itu. Aku pun, dengan ikut sedih, hanya bisa menduga-duga.


ANCAMAN ASMA DAN KITA. Awal bulan Desember 2005, menjelang liburan panjang Natal dan Tahun Baru, American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI) telah mengeluarkan peringatan, bahwa bagi para penderita asma dan alergi lainnya, musim liburan menyimpan ancaman potensial bagi mereka.

“Apakah Anda bersibuk-ria menyiapkan pohon Natal, menengok binatang peliharaan sanak-saudara, atau berpesta menyambut liburan, ancaman pemicu timbulnya alergi mengintai di setiap sudut.”

“Akibat ketatnya skedul dan perjalanan yang terus-menerus sepanjang musim liburan, banyak orang mudah terlupa untuk merawat kesehatannya secara tertib bila menyangkut ancaman alergi dan asma”, kata Wanda Phipatanakul, MD, MS, FAAAAI, wakil ketua Komite Indoor Allergen dari AAAAI.

“Senantiasa mengingat pemakaian obat dan menghindari pemicu yang potensial merupakan hal penting agar gejala penyakit asmanya dapat terkendalikan”


Ancaman serangan asma memang bukan hal yang dapat kita sepelekan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, menurut ISL Consulting Co., terdapat sekitar 31,3 juta penderita asma. Angka ini naik dari 26 juta di tahun 1997. Terdapat angka 12 juta serangan sakit asma dalam 12 bulan terakhir.

Sebanyak 9,2 juta penderita asma berumur di bawah 18 tahun. Sebanyak 4,2 juta anak muda menderita asma dalam 12 bulan terakhir. Kematian akibat asma tercatat 4.487 orang, turun dari angka 5.000 di tahun 1997 dan 4.657 di tahun 1999.

Asma merupakan penyakit kronis paling utama yang menyerang anak-anak. Untuk mereka yang berumur 5 sd 17 tahun, asma merupakan penyakit nomor satu yang mengakibatkan mereka mangkir sekolah akibat kekronisan penyakitnya.

Sebanyak 10 juta hari sekolah hilang akibat penyakit asma. Anak-anak penderita asma tergeletak di ranjang sekitar 7,3 juta hari tiap tahunnya.


KAMPANYE ASMA GLOBAL. Untuk mengkampanyekan kesadaran masyarakat luas mengenai asma dan langkah penanggulangannya, telah dicanangkan gerakan Inisiatif Global Penanggulangan Asma (Global Initiative For Asthma /GINA) yang antara lain mencanangkan Hari Asma Sedunia, yang jatuh hari Selasa pertama bulan Mei. Hari Asma Sedunia tahun 2006 jatuh hari Selasa, 2 Mei 2006.

Salah satu gagasan untuk mengkampanyekan kesadaran terhadap asma tersebut, antara lain dengan meluncurkan situs web di Internet yang berisikan edukasi dan petunjuk penanggulangan asma. Juga mengampanyekan lingkungan yang bersih dari asap rokok dan debu pencetus alergi lainnya.

Sebagai orang yang bersyukur bisa berhenti dari kebiasaan buruk merokok dan membanggakannya sebagai salah satu prestasi hebat dalam hidup saya, sejak tahun 1989, maka program-program GINA tersebut menantang saya untuk ikut berperan serta di dalamnya.


UNTUK MENGENANGMU, ANEZ. Mengilas balik hidup saya, ternyata wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta, diakui atau tidak diakui, termasuk yang dalam fase hidupnya pernah mengidap penyakit asma. Untuk mengenang kebaikan-kebaikan mereka, situs blog tentang asma ini saya luncurkan.

Amor tussisque non celantur.
Love and a cough cannot be hid.

Asmara dan batuk tidak dapat disembunyikan Pepatah latin itu pun saya modifikasi : asmara dan asma tidak dapat disembunyikan. Bahkan, lebih lanjut, bagi saya kemudian, asmara yang terantuk pun juga tidak perlu disembunyikan.

Kekasih boleh hilang atau pergi, tetapi cinta tetap bisa abadi. Meninggalnya seorang Mumtaz-i-Mahal telah mampu menggerakkan suaminya, Syah Jehan, membangun Taj Mahal di Agra. Kiranya tak kurang eloknya apabila saya tergerak membuat satu-dua blog untuk mengenang wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta.

Terutama untuk mengenang almarhumah wanita indah, penuh pesona, Widhiana Laneza, “yang kini telah berjalan menembus awan,” now she's walking through the clouds, blog tersebut saya beri judul untuk mengabadikan Anez, nama panggilannya yang indah :

Anez : Asthmatics New Environment Zone

Blog ini dicita-citakan sebagai sarana untuk mempromosikan zona atau lingkungan baru yang ramah terhadap para penderita asma. Juga diniatkan menjadi salah satu mata rantai yang menghubungkan para penderita asma, keluarganya dan fihak-fihak yang menaruh simpati dan empati, dalam semangat saling asah-asih dan asuh untuk berbagi cerita, solusi, dan terutama saling meneguhkan satu dengan lainnya.

Semoga bermanfaat.



Wonogiri, 30 Januari 2006


PS : Saya bukan seorang dokter. Blog ini berisikan informasi-informasi yang bersifat non-medis. Untuk menanggulangi penyakit asma Anda, pastikan Anda tetap berkonsultasi dengan dokter yang berkompeten. Terima kasih.

Tuesday, January 10, 2006

Anez, Sendok Bengkok dan Numerology


Oleh : Bambang Haryanto

Situs blog ini lebih tersaji prima bila Anda akses denngan browser Mozilla Firefox.



Sendok Bengkok. Ketika suatu malam (1/2/1987) main ke rumah Anez, di Cilandak, saya diajak nonton acara Aneh Tapi Nyata yang saat itu disiarkan oleh TVRI. Dipandu oleh aktor koboi, Jack Palance.

“Mau nonton engga ?”, tanya Anez.

Saya diajak ke bagian belakang rumahnya. Memasuki ruang yang diisi pesawat televisi besar. Ada piano. Ada dua atau lebih kursi malas. Di tembok antara lain terpajang gading gajah besar dan berukir. Ada 2 mandolin dan lukisan kaligrafi Arab.

Kita nonton berdua. Termasuk dalam ngobrol-ngobrol itu kita rada saling “bertengkar”. Karena Anez lebih menyukai siaran itu diselenggarakan dalam bahasa Inggris sebagaimana aslinya. Sementara saya, yang menguasai bahasa Inggris sekadarnya, tentu saja protes.

Saya tak lagi ingat, mungkin ada tayangan yang berbau keajaiban, obrolan kita malam itu merembet ke masalah hal-hal berbau metafisika. Aku engga yakin dengan penggunaan istilah ini tepat atau tidak. Rada-rada berbau klenik. Paranormal.

Pendek kata, Anez cerita tentang fenomena Uri Geller, asal Israel, yang dengan pandangan matanya mampu membengkokkan sebuah sendok. Aku tahu yang Anez ceritakan. Dari nada ceritanya, oh, baru aku tahu kalau Anez juga memiliki perhatian terhadap sisi-sisi unik dan luar biasa yang sulit dicerna oleh akal ini. Dalam suatu kesempatan, saya pernah mengirimkan fotokopi tentang topik ini kepadanya.


Fast Forward : 2006. Saya baru saja menerima hadiah dari temanku di Melbourne, Lasma Siregar. Salah satunya adalah kartu numerology, produksi Wallet Wisdom Card, Australia. Seukuran KTP, berlaminasi. Disebutkan bahwa “numerology berdasar kaidah Pythagoras mengaitkan kehidupan dengan makna dan kebenaran universal” dan “makna yang terdapat dalam nama, tanggal kelahiran dan pelbagai peluang kehidupan yang penting”

Saya mencoba menganalisis nama dan tanggal kelahiran Anez menurut kajian numerology ini.

VIBRASI JIWA. Jantung. Merupakan penjumlahan dari seluruh huruf hidup nama yang diberikan pada kelahirannya. Angka ini membedah isi terdalam diri Anda, rahasia pribadi, siapa diri Anda sebenarnya. Angka yang diperoleh Anez adalah = 9.

Kualitas Anez : Consciousness. Universal. Awareness. Completion. Psychism. Kepribadiannya : Selfessness. Courage. Humanitarian. Impulsive. Extrovert. Planet : Mars. Batu : Ruby, Garnet


VIBRASI KEPRIBADIAN. Citra. Penjumlahan dari seluruh konsonan dari namanya saat dilahirkan. Mencerminkan citra Anda tentang dunia dan bagaimana dunia memandang dirinya. Anez memperoleh angka “luar biasa”, yaitu : 11. Maknanya : ia memiliki kepribadian Visionary, Humanitarian.


VIBRASI NASIB. Tujuan. Penjumlahan seluruh huruf hidup dan konsonan dari namanya saat dilahirkan. Angka ini merupakan gabungan antara diri pribadi, karier dan tujuan hidup. Anez memperoleh angka 2.

Kualitas diri Anez digambarkan sebagai : Duality, Division, Feminine – Yin, Truth, Beauty, Unconscious. Kepribadiannya mencakup : Shy, Quiet, Indecisive, Cooperative, Gentle, Romantic, Sympathetic. Planet : Bulan. Batu : Batu bulan, mutiara.


PELAJARAN HIDUP. Nasib. Merupakan penjumlahan seluruh angka kelahirannya. Angka nasib. Anda dapat menguasainya dan memperoleh keberhasilan dalam hidup, atau menjadi terkendala dalam hidup ini. Anez memperoleh nomor : 6.

Kualitas diri Anez digambarkan sebagai : Love. Arts. Harmony. Magnetism. Union. Equilibrium. Ideals. Kepribadiannya mencakup : Romance. Sex. Wise. Understanding. Introspective. Devoted. Planet : Venus. Batu : Diamond, Emerald.



Wonogiri, 11 Januari 2006

Thursday, January 05, 2006

Eulogi Untuk Widhiana Laneza dan Sepakbola Indonesia


Oleh : Bambang Haryanto

Blog ini lebih sempurna untuk Anda baca
apabila Anda akses melalui browser Firefox Mozilla.


Sepakbola Kotor Di Indonesia. Sepakbola Indonesia telah mati. Karena sportivitas telah lama mati. Wartawan harian Kompas, Yulia Sapthiani, ketika menulis laporan tutup tahun persepakbolaan Indonesia sepanjang tahun 2005, mengemukakan analisis yang mengentak.


Suasana kejiwaan yang dominan melingkupi insan sepakbola negeri besar ini adalah sikap mental katak dalam tempurung. Juara liga Indonesia adalah tujuan puncak, meski harus dilalui dengan cara “kotor” sekali pun, tulis Yulia. “Kompetisi di Indonesia sama sekali tidak menganut asas fair play”, keluh Fachry Husaini, asisten pelatih tim nasional.


Saya jadi saksi, baik di Jakarta atau pun di Singapura, timnas kita dibekuk oleh Singapura dalam Final Piala Tiger 2004/2005.

Image hosted by Photobucket.com


TAK ADA KEBANGKITAN. Kehadiran suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang Singapura, diramaikan spanduk yang khusus kami bawa dari Solo, Indonesia. Kalau Anda jeli, foto paling kanan adalah fotonya Mayor Haristanto dan saya. Sayang, tak ada keajaiban. Tidak ada kebangkitan. Di leg pertama Final Piala Tiger 2004/2005, di Senayan timnas kita dipukul Singapura, 1-3. Di Kallang ini kami jadi saksi, timnas kembali kalah dengan 2-1. (Foto : Dokumentasi BOLA)>


Sesudah kegagalan itu, PSSI jualan kembang gula penghibur baru lagi kepada publik bola tanah air. Mencanangkan target juara di SEA Games 2005 Manila, tetapi akhirnya hanya berbuah betapa anak-anak asuhan Peter Withe kembali ke tanah air dengan tangan hampa. Perunggu pun tidak.


Panorama puncak kompetisi domestik, Liga Indonesia 2005, dicederai mentah-mentah oleh Persebaya yang mengundurkan diri, yang membuat Persija melenggang santai meraih partai puncak. Banyak orang bersyukur, tim ibukota negara yang melimpah uang itu akhirnya dirontokkan oleh anak-anak mutiara hitam Papua.


Cinta Yang Belum Padam. Bagi saya, sepakbola Indonesia memang telah lama mati. Saya pun telah memvonis sepakbola Indonesia telah lama mati. Di Tabloid BOLA (24/1/2003), persis tiga tahun lalu, saya menulis opini : “Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati”. Sejak itu, saya tak menulis opini lagi di tabloid terbesar ini.


Tetapi api cinta kepada sepakbola, ternyata belum padam sama sekali. Gara-gara saya memiliki blog Suporter Sepakbola ini, rasa mabuk kepayang terhadap sepakbola, rupanya harus terusik lagi. Membara lagi.


Inilah ceritanya.


Gara-gara boss majalah Freekick, yang akan terbit di awal tahun 2006 ini, chatting dengan Totot Indrarto, mantan creative director SatuCitra yang juga kritikus film, arahnya berbelok kearah saya.


Totot atau sering dikenal dengan sebutan Pakde ini pernah menggagas Mandom Resolution Award (MRA) 2004, di mana saya ikut serta. Saya menuliskan suka-duka mengikuti kontes tersebut dalam blog Esai Epistoholica saya. Pas berlangsungnya MRA 2004, sampai kini, saya belum pernah ngomong langsung dengan dia. Komunikasi hanya lewat email.


Rupanya ia berkenan menjelajah blog-blog saya, dan nyasar pula ke blog saya mengenai suporter sepakbola Indonesia. Chief editor majalah Freekick yang sering menulis kolom sepakbola di harian Kompas, Andi Bachtiar Yusuf, rupanya terbujuk oleh saran Totot Indrarto Entah apa yang terjadi, sehingga akhirnya ia meminta saya untuk menulis kolom di majalah Freekick itu pula.



Saya tinggal di Wonogiri. Dari Solo arah ke selatan, 32 km. Karena kota kecil saya ini topografinya terkepung oleh gunung, saya tidak bisa nonton tayangan sepakbola di SCTV dan TV7. Juga terlalu lama tidak membaca-baca FourFourTwo atau World Soccer. Terakhir, membolak-balik kumpulan lelucon mengenai David Beckham dan istrinya, di toko buku Times NewsLink, Terminal 1 Bandara Changi Singapura, tetapi aku malas untuk membelinya.


Masa lalu itu, cinta lama saya terhadap sepakbola, kemudian melambai-lambaiku. Untuk kembali. Persis bersamaan momennya, gara-gara menulis blog mengenai wanita-wanita terindah saya, masa lalu lain juga merenggutku untuk kembali.


Wanita Terindah Telah Pergi. Menjelang akhir Desember saya menerima email dari Verdi Amaranto*. Nama yang tidak kukenal. Isi emailnya membuat diriku membeku : “Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan blog Anda, "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list wanita-wanita terindah Anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya”


Sepakbola Indonesia telah lama mati. Kini seorang wanita terindahku, “telah berjalan menembus awan” pula. “Now she's walking through the clouds /With a circus mind /That's running wild /Butterflies and zebras /And moonbeams and fairytales /All she ever thinks about is /riding with the wind “, penggalan lirik lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix.


Kepergian Anez, yang dulu suka bercanda dengan anjing kampung yang ia beri nama Grigri, jimat dalam bahasa Perancis, membuatku mampu menangis pada puncak malam. “Tumpahkan air matamu hingga memenuhi sebuah kapal”, pepatah Srilanka yang memberi arah bagaimana kita harus melupakan rasa kehilangan dan kesedihan. Untuk itu, telah pula aku buatkan situs blog, Song Fopr Anez, untuk mengiringi kepergiannya yang abadi. Kepergian Anez, yeah, harus diikhlaskan


Fly little wing

I want her to fly


Tetapi bagaimana dengan sepakbola ? Peneliti seks Shere Hite yang terkenal dengan buku Hite’s Report, yang gengsinya setara dengan buku-buku laporannya Johnson dan Masters, telah menyimpulkan : football can be categorised as a type three masturbatory technique. Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi yang ketiga.



Mari kita nikmati ramai-ramai sensasinya.

Di bulan Juni-Juli mendatang, mari kita orgasme sama-sama pula !


Wonogiri, 3 Januari 2006



* Ketika saya naksir Anez, Mas Anto atau Verdi Amaranto lagi menyelesaikan kuliahnya di Paris, Perancis.