Thursday, January 28, 2010

Henin, Australia Terbuka 2010 dan Widhiana Laneza




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


The China Syndrome.
Sebuah idiom dari disiplin ilmu fisika nuklir.

Juga judul film terkenal tahun 1979 yang dibintangi Jane Fonda dan Michael Douglas. Idiom itu menggambarkan bila terjadi bencana pada sebuah reaktor nuklir, bangunannya akan meleleh. Maka semua muatannya akan merembes ke tanah. Hingga mampu menjangkau sampai ke negeri China.

Idiom yang sama dalam ranah di luar fisika nuklir justru menunjukkan China sebagai ancaman. Sebagaimana tulis Justin Lahart di Wall Street Journal (6/10/2005), sindrom China itu merujuk pada “tingkah laku, kebijakan atau situasi yang karakteristiknya terkait China, juga potensi atau bencana itu sendiri yang utamanya melibatkan China,” tulisnya.

Ia lalu memberi contoh sindrom China yang terjadi pada Korea Selatan. “China kini menguasai 20 persen dari total perdagangan Korea Selatan,” tulisnya. Mengamini konteks yang digaris oleh Justin Lahar tersebut maka sindrom China juga telah mengamuk di Indonesia.

Top korupsinya. Saya pernah menulis opini pendek di kolom “Smes,” di Kompas (15/5/2004) ketika berlangsung turnamen bulutangkis beregu Piala Thomas dan Uber 2004 :

“Lihat produk yang diasong di KRL Bogor-Jakarta, mulai dari jarum, peniti, gunting kuku, korek kuping, hingga korek api gas dan seabrek produk manufaktur lainnya. Hampir dipastikan semuanya itu buatan China. Serbuan China kini juga telah emnghancurkan tim Uber dan tim Thomas kita di kandang sendiri. Apa lagi yang bisa dibanggakan dari negeri yang korupsinya top ini ?”

Terkait wabah korupsi dan olah raga, saya saat ini justru memimpikan serbuan China ke Indonesia. Sebagai ilham dan praksis untuk menghentikan, atau menghancurkan apa yang menjadi sinyalemen mantan pelatih PSMS Medan, Parlin Siagian (Kompas, 25/1/2010) : “Kompetisi sepakbola kita dikuasai mafia. Jadi semua tim menghalalkan segala cara untuk menang.”

Kita harus meniru China.

Utamanya tentang gebrakan pemerintahnya seperti dilansir Xinhua (27/1/2010) tentang beberapa petinggi Chinese Football Association (CFA), PSSI-nya China yang ditahan untuk investigasi. Termasuk wakil ketua CFA, Nan Yong dan Yang Yimin, dan juga Zhang Jianqiang, mantan direktur asosiasi wasit. Semua diduga terlibat skandal suap terkait pengaturan skor hasil pertandingan.

Chindia Rising. Di kancah tenis dunia, sindrom China juga menggetarkan pentas Australia Terbuka. Lolosnya dua petenis putri China, Li Na dan Jie Zheng, di semifinal pesta Grand Slam pembuka 2010 itu merupakan sisi lain dari wajah kebangkitan negeri Tirai Bambu itu.

Realitas ini meneguhkan tesis Dr. Jagdish N. Sheth, Charles H. Kellstadt Professor of Marketing dari Emory University’s Goizueta Business School (AS) dalam bukunya, Chindia Rising : How China and India Will Benefit Your Business (2008). Kebangkitan China dan India, menurutnya, akan memakmurkan dunia.

Sementara kebangkitan petenis China, Li Na, siap mengobrak-abrik urutan daftar 10 petenis top dunia. Walau di semi final ia kalah dari “the lady jumbo” Serena Williams,7-6 dan 7-6, fakta itu menggariskan sejarah betapa dalam lima kali bentrokan Li Na mampu meladeni dengan ketangguhan ibarat Tembok China. Bahkan ia pernah menaklukkan Serena di tahun 2008. Sindrom China akan lebih mengancam di lapangan tenis wanita pada masa-masa mendatang

Jangan lupa Jie Zheng.

Ia mencatatkan sejarah sebagai petenis China pertama lolos ke semifinal Australia Terbuka. Pentas yang sama juga ia duduki saat terjun di Wimbledon 2008. Di Melbourne, tempat ia meraih juara dobel di tahun 2006, ia bilang, “lapangan ini memberi keberuntungan pada saya. Saya berharap perjalanan saya akan berlanjut.”

Ia katakan itu sesudah sukses menekuk Maria Kirilenko, 6-1 dan 63. Tetapi di semifinal ia menghadapi pelaku kisah dongeng, Justine Henin. Jie Zheng yang masa kecilnya menekuni bulutangkis itu harus mengakui keunggulan petenis Belgia, 6-0 dan 6-1.

Impian milyaran warga China untuk melihat dua petenisnya berlaga di puncak, tertunda. Boleh jadi, justru karena hal itu mereka mungkin semakin menggenggam pesan Konfucius tentang karakter seorang juara. Juga pantas kita camkan ajarannya :

“Seorang juara bukanlah mereka yang tidak pernah kalah. Tetapi mereka yang kalah, dan terjatuh, tetapi selalu mampu untuk bangun kembali.”

Kini final di hadapan mata kita.
Hari Sabtu, esok. Siapa juaranya ?
Henin atau Serena ?

Komentator tenis terkenal di televisi Star Sports, Vijay Amritaj, memilih : Serena.

Kontributor tenis untuk ESPN.com, Ravi Ubha, menjelaskan pelbagai fakta sejarah tentang peluang come back-nya seseorang petenis untuk meraih juara.

Data yang dijejer wartawan tenis berpangkalan di London, lulusan jurusan bisnis McGill University dan diploma jurnalisme dari Concordia University, keduanya Montreal, Kanada, menarik.

Misalnya, Kim Clijsters.
Gelar sebelum come back, 1. Sesudahnya : 1.
Jennifer Capriati : 0-3.
Bjorn Borg : 11-0.
John McEnroe : 7-0.
Monica Seles : 8-1.

Maaf Vijay. Maaf Ravi.

Saya lebih menjagoi Justine Henin untuk meraih juara. Serena Williams yang permainannya penuh tenaga dan brutal itu, akan hanya membuahkan angka-angka unforced error yang bertubi-tubi bagi dirinya. Ia pun akan frustrasi. Ingat, ia didenda berat karena memaki-maki penjaga garis yang berwajah Asia ?

Serena yang meledak-ledak akan menabrak dinding yang dibangun Henin, dengan ramuan ketegaran mental, kekomplitan dan variasi permainan yang kaya. Dan lihatlah, walau hanya memiliki tinggi badan 1.68 m (Serena : 1.75 m), petenis kelahiran Liege 1 Juni 1982 itu memiliki kecepatan serta footwork yang mampu menjaga inci demi inci lapangan.

Jangan lupa kesaktian backhand satu tangan, yang menjadi senjata andalannya. Bahkan seorang John McEnroe mengatakan bahwa backhand satu tangan Henin itu sebagai yang terbaik, baik bagi petenis wanita atau pria saat ini, yang merupakan modal dahsyat Henin sehingga mampu bertahan sampai kini.

Belum lagi seorang legenda Martina Navratilova ketika berlangsungnya turnamen Perancis Terbuka 2007 sampai perlu mengatakan bahwa ,“permainan serang Henin itu fenomenal…seperti kita melihat aksi seorang Federer perempuan.”

Sudahlah. Saya menjagoi Henin, siap deg-degan, siap pula kecewa, karena : “Ini masalah pilihan hati, Vijay. Ini masalah emosional, Ravi.”

Barangkali ini perwujudan dari indra keenam. Persis seperti nama pusat pelatihan tenis yang dihasilkan dari kolaborasi Justine Henin dan pelatihnya, Carlos Rodriguez, yang diresmikan Mei 2007 dan bernama indah : 6th Sense Academy.

Ketika lolos menuju semi final ia berkata : “Saya memiliki mimpi. Saya berusaha berjuang sebaik mungkin. Bila pun nanti kandas, semuanya terasa luar biasa.”

Terima kasih, inspirasimu, Henin. Hal itu pula, terkait di luar masalah tenis, saya mendukung Henin karena semata-mata saya merasa memiliki kaitan dengan Belgia. Negeri inilah asal petenis yang lahir dari ayah Jose Henin dan ibu Françoise Rosière, berkebangsaan Perancis, guru sejarah yang meninggal dunia ketika Henin 12 tahun usianya.

Di ibukota Belgia, Brussels, adalah pula kota tempat almarhumah Widhiana Laneza dilahirkan.

Apakah kau di sana telah ketemu Françoise Rosière, Anez ?
Lalu saling cerita tentang sejarah Perancis. Atau tentang anjing. Bukankah anjingmu juga kau namai dalam bahasa Perancis, Grigri, yang berarti jimat itu ?

Mimpi itu memang telah lama kandas. Tetapi bagiku, momen itu, semuanya masih saja terasa luar biasa. Seorang Henin, hari ini, menjadi pemicunya.



Wonogiri, 29 Januari 2010

sfa

Labels: , , , , , , , , ,