Thursday, December 18, 2008

At The End Of A Song


 

Oleh : Bambang Haryanto


Tak ada mawar. “When I am dead, my dearest, sing no sad songs for me”. Itulah awal dari puisi yang ditulis Christina Georgina Rossetti (1830-1894), yang merupakan salah satu penyair wanita terpandang di Inggris. Ia menulis puisinya itu tiga puluh dua tahun sebelum meninggal dunia. 

Christina lahir sebagai anak terkecil dari keluarga Gabriele Rossetti yang seniman, pendekar revolusioner dan intelektual, sekaligus pelarian politik dari Napoli, Italia. Saudaranya, baik Dante Gabriel Rossetti yang pelukis dan penyair atau William Michael Rossetti yang kritikus dan sastrawan, tak kalah terkenal sebagai kaum terpelajar yang terpandang saat itu pula.

“Bila ku mati, kekasihku. Jangan lantunkan lagu-lagu duka untukku. Jangan tanam mawar di lahatku. Atau pohon sipres sebagai perindang. Biarkan rumput hijau menyelimutiku. Yang terguyur hujan dan embun basah. Ingatlah aku. Lupakanlah aku.”

Christina Rossetti meninggal dunia di London, 29 Desember 1894. Seratus empat belas tahun lalu. Tetapi nama, dan terutama karya-karyanya abadi. Ars longa, vita brevis. Memanglah, hidup itu singkat, tetapi seni abadi. 

“Ingatlah aku.” 

Mungkin itu dambaan universal bagi sebagian besar manusia. Baik ketika dirinya masih hidup, atau pun ketika sudah meninggal dunia. Ada sebuah cerita, rada getir, mengenai pesan “ingatlah aku” itu dalam sebuah surat wasiat. Konon seorang nenek membuat heboh keluarganya. Pasalnya ia berpesan bila meninggal dunia kelak, ia ingin jasadnya dikuburkan pada sebuah kompleks mall paling terkenal di kotanya. Alasannya : agar dalam seminggu dirinya akan senantiasa ditengok sebanyak 3-4 kali oleh anak-anak dan cucunya ! 


Bilah kemudi kecil. Keinginan yang manusiawi, keinginan untuk diingat itu, untuk tokoh atau seseorang tertentu terkadang diwujudkan dalam bentuk epitaph, pesan yang terukir di nisan. Seperti pesan tokoh proklamator kita, Bung Karno, yang ingin dikenang sebagai penyambung lidah rakyat. 

Bintang film Clark Gable ingin nisannya dituliskan kalimat “back to silents,” pengarang Ernest Hemingway (1899–1961) meminta tulisan, “maaf, saya tidak bisa bangun,” sementara pemenang hadiah Nobel Perdamaian Albert Schweitzer (1875–1965) ingin tulisan di nisan berbunyi : “Bila suku kanibal menangkapku/Saya harap mereka bilang, kami sudah memakan Dr. Schweitzer/Dan ia lezat sampai akhir…/Dan akhirnya tidaklah jelek adanya.”

Desainer dan arsitek besar R. Buckminster Fuller (1895–1983) seperti diungkap bukunya Stephen R. Covey, The 8 Habit (2006), ingin pada pusaranya tergurat kalimat, “hanya bilah kemudi kecil.” Luar biasa, seru Covey. Menurutnya, sebuah bilah kemudi kecil pada kapal atau pesawat adalah bilah kecil yang menggerakkan bilah besar yang digunakan untuk mengubah arah kapal. 
 
Kisah mengenai pesan di nisan yang mengharukan dapat juga direguk dari tulisan Bob Ross dalam bukunya Funny Business And The Art of Using Humor Constructively (1998. Ia bercerita mengenai seorang dokter yang dermawan. Ia menghabiskan hidupnya untuk membantu pengobatan warga miskin yang terpinggirkan. Ia sendiri tinggal di lantai atas sebuah toko kecil penjual minuman keras di lingkungan kumuh itu. Pada bagian depan kedai itu terpampang papan nama, “Dr. William Ada Di Atas.”

Karena dokter itu tidak pernah meminta bayaran untuk pasien-pasien yang tidak mampu itu, akhirnya ia meninggal dunia dalam keadaan miskin pula. Ia tidak memiliki uang tersisa untuk pemakamannya, bahkan untuk membeli batu nisan sekali pun. Akhirnya ia dikebumikan tanpa tanda apa pun, sampai akhirnya seseorang warga menemukan ide brilyan. 

Ia mengambil papan nama yang semula berada di toko minuman keras tadi, lalu memajang di makamnya, menghadirkan epitaph indah dan mengharukan sekaligus mencerminkan doa dan harapan banyak orang atas persemayaman abadi yang layak bagi sang dokter dermawan itu : “Dr Williams Ada Di Atas.”


Gunung bunga. Kenangan atau pengakuan terhadap jasa para tokoh besar yang meninggal dunia sering muncul dalam bentuk tulisan obituari di media-media massa. Kini berkat Internet, terutama blog, telah mampu mendemokratisasikan peluang untuk itu, yaitu kehadiran tulisan obituari oleh siapa saja dan untuk siapa saja. Obituari berbentuk blog itu saya sebut sebagai blogituari. Ada cerita mengesankan tentang obituari yang ditulis dalam sebuah blog mengenai sosok wong Wonogiri.

He was the first professional dhalang to live and teach in the United States. He taught at Wesleyan University in the late 1960s and later at the American Society for Eastern Arts (ASEA) and a number of California universities.” Begitulah potongan isi sebuah obituari yang yang ditulis seorang warga Inggris. Penulisnya bernama Matthew Isaac Cohen, profesor dari Royal Holloway, University of London. 

Tulisan bertanggal 6 November 2008 itu ia gurat untuk mengenang guru dalang wayang kulitnya yang meninggal dunia 5 November 2008. Beliau itu bernama Bapak H. Oemartopo (1936-2008). Domisilinya di Kajen Wonogiri. Ketua RT kampung saya. 

Tulisan Matthew Isaac Cohen itu kemudian memperkaya kenangan dan pengetahuan pribadi diri saya terhadap Bapak Oemartopo. Terentang sejak saya masih duduk di kelas 1 SMP Negeri 1 Wonogiri, 1967, sampai pertemuan terakhir, 19 Agustus 2008. Saat terakhir itu, sambil meminta tanda tangan beliau untuk surat mengurus perpanjangan KTP untuk KTP Nasional saya yang pertama, saya juga merekam video dengan kamera digital. Saya meminta pendapat beliau mengenai makna HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 63 bagi warga kampung kami dan warga Republik Indonesia. 

Dalam obrolan saya mencoba menyerap cerita beliau selama 12 tahun mengajar di AS dan 2 tahun di Hungaria. Saat itu sempat terlontar ucapan semacam nadar dari beliau, yang bila dikaruniai sehat berniat mengajak saya untuk mengikuti acara tahunan bertajuk World Music Workshop in Bali. Untuk ketemu antara lain dengan sobat-sobatnya, Dr. Robert E. Brown dari San Diego State University (AS) sampai Dr. Lewis Peterman, ahli musik Eropa dan pemain sitar Cina.  

Dari arsip yang ditulis oleh Dr. Robert E. Brown saya temukan kemudian data bahwa acara World Music Workshop in Bali 2005 yang juga diikuti oleh Pak Oemartopo saat itu, dilangsungkan di tempat yang disebut olehnya sebagai Flower Mountain, gunung bunga. Tepatnya di Payangan, Bali.

Tiga tahun kemudian, di Rabu siang, 5 November 2008, saya memang bisa ikut mengantar Pak Oemartopo menuju flower mountain itu. Bukan di Payangan Bali, tetapi di Kajen, Wonogiri. Saya ikut menjadi saksi ketika di atas pusara almarhum telah ditebarkan tanda cinta, tanda hormat, dan tanda belasungkawa oleh keluarga besar dan handai taulan yang mencintai beliau, sehingga akhirnya berwujud sebagai gunung kecil penuh bunga. Selamat jalan, Pak Oemar.
  

Catatan kemanusiaan. Catatan kenangan dan kesaksian tentang Pak Oemar kemudian memicu saya untuk mewujudkannya dalam sebuah blogituari. Nama blognya : Petruk Dadi Ratu. Nama itu diilhami judul lakon wayang bernada jenaka yang diajarkan oleh Pak Oemar untuk Matthew Isaac Cohen di Wonogiri, sekitar dua puluh tahun yang lalu. 

Blog tentang Pak Oemar itu bukan blogituari saya yang pertama. Dalam bentuk tulisan lepas, saya telah pula menuliskan beberapa kenangan untuk tetangga atau pun kerabat yang telah mendahului dipanggil Tuhan. 

Mereka-mereka itu orang biasa, sehingga jelas tidak terjangkau oleh liputan media massa. Tetapi karena setiap orang itu istimewa, alangkah bermaknanya bagi kemanusiaan bila kehadirannya di dunia bisa untuk dicatat pula. Dilestarikan. Diwariskan. Bahkan sebenarnya, hemat saya, pencatatan itu merupakan tuntutan bagi sejarah kemanusiaan.

Kevin Kelly, guru ekonomi jaringan, pernah menvisikan agar semua buku di dunia itu di-scan dan diterbitkan secara digital. Sehingga antara satu buku dan buku lainnya akan saling terkait, terhubungkan melalui hyperlink, baik melalui catatan kaki atau pun daftar pustaka yang ada. “The dream is an old one : to have in one place all knowledge, past and present. All books, all documents, all conceptual works, in all languages,” cetusnya.

Kajian mengenai keterhubungan antardokumen ilmiah itu, disebut dengan citation analysis yang kebetulan juga menjadi subjek skripsi saya di UI pada tahun 1980-an, dipelopori Eugene Garfield dari Institute of Scientific Information (ISI). Kemudian di era digital dikaji lanjutannya antara lain oleh mahasiswa Universitas Stanford bernama Larry Page dan Sergey Brin, yang kita kenal sebagai pendiri Google Inc, yang punya motto : Don’t be evil. Kajiannya itulah yang dewasa ini memunculkan Page Rank, sebuah algoritma yang berfungsi untuk menentukan situs web mana yang lebih penting atau populer. 

Terima kasih, Larry. Berkat Google pula, di antara milyaran umat manusia, saya baru tahu kemudian kalau diri saya di tahun 2005 tertakdir sebagai satu-satunya orang di dunia yang mengabadikan nama seseorang, Widhiana Laneza, di dunia maya.


Warisan yang tidak terkubur> Keterhubungan itu, tentu saja, juga vital untuk kita manusia. Suksesnya situs jaringan sosial seperti Facebook merupakan bukti manifestasi dambaan manusia sebagai makhluk sosial. Keterhubungan universal sebagai salah satu pergeseran seismik global yang terjadi dewasa ini ditandaskan pula oleh Stephen R. Covey dalam The 8 Habit (2006). Ia merujuk buku Blown to Bits: How the New Economics of Information Transforms Strategy (2004) karya Philip Evans dan Thomas S. Wurster, yang menjelaskan betapa aliran informasi dan aliran barang dapat dipisahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah.  

Dalam konteks obrolan tentang blogituari, seseorang (= barang, maaf) boleh saja meninggal, tetapi warisannya (=informasi tentangnya) mampu untuk tidak ikut terkubur pula. Sebuah pesan singkat berikut ini cukup menarik untuk kita simak dan kita camkan : Do u know abt d things which live after death? Heart-10 mins, brain-10 mins, eyes-31 mins, legs-4 hrs, skin-5 days, bones-30 days, LOVE – FOREVER.

Tidak hanya cinta yang bisa abadi. Tulisan di blog juga bisa abadi. Dan mendunia. Berkat blog seorang guru dalang yang meninggal dunia dan dimakamkan Wonogiri, tetapi cerita tentangnya dapat terus hidup karena ditulis baik dari London, San Diego dan dari belahan dunia lainnya. Interaksi ini dimungkinkan berlangsung secara berantai dan terus berkesinambungan. Blogga (?) longa, vita brevis. Hidup itu singkat, tetapi isi blog abadi. 

Internet kaya dengan kisah semacam itu. Termasuk yang menyapa saya secara pribadi, tiga tahun lalu. Kejadian tidak terduga itu tepatnya terjadi pada tanggal 22 Desember 2005, hari Kamis, jam 9-an pagi, di Warnet Cosmic Wonogiri. Saat itu saya menerima email berikut ini :  


Mas Bambang,
Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan situs blog anda “Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list “wanita-wanita terindah” anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya.

Salam,

Anto,
kakaknya Anez.


Sebuah kluster blogituari ini kemudian hadir. Untuk meneruskan catatan jejak sejarah dirinya yang kecintaan terhadap satwa kesayangannya mengilhami untuk menulis sebuah buku (foto). Termasuk untuk mencatat cerita “Furkhanda.” Ia seorang mahasiswi Arkeologi UI yang mengatakan berniat meneruskan topik skripsi yang ditulis Anez sekitar dua puluh tahun lalu, di tahun 2008 ini. Atau tiga tahun sesudah dirinya berpulang ke pangkuan Allah. 

Semoga blogituari sederhana itu mampu merekam segurat kenangan bagi seorang perempuan menawan, kelahiran Brussel yang tutup usia di Denpasar, yang dengan meminjam lirik pembuka lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix, kini dirinya telah berjalan menembus awan. “At the end of a song,” begitu senandung indah Carpenters, “there's no one/after the last note is played/only the memory stays.



Bambang Haryanto, blogger kampung yang tinggal di Wonogiri. Ngeblog sejak 2003. Salah satu blognya Esai Epistoholica diundang untuk tercatat dalam direktori blog berkelas, Blogged.com, yang bermarkas di Alhambra, California, AS. Memenangkan Mandom Resolution Award 2004 dengan mengusung tesis manfaat blog untuk pemberdayaan komunitas kaum epistoholik atau pencandu penulisan surat pembaca sebagai salah satu pilar penegakan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. 

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home