Sunday, January 29, 2006

”Now she's walking through the clouds” : Mengenang Anez, Asma, Anjing dan Asmara




Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com


Now she's walking through the clouds
With a circus mind
That's running wild
Butterflies and zebras
And moonbeams and fairytales
All she ever thinks about is riding with the wind

(Jimi Hendrix, “Little Wing”)



ANJING YANG MEROKOK. Komedian Steve Allen mengidap sakit asma. Tetapi dirinya merasa tidak punya masalah dengan penyakit gangguan kronis pernafasan itu.

Ia bilang : “Asma bukanlah gangguan bagi saya, kecuali bila saya berdekatan dengan rokok dan anjing. Satu hal yang sangat dan paling mengganggu saya adalah bila anjing-anjing itu merokok pula”

Bagi Riaty, Cresenthya Hartati atau pun Widhiana Laneza, pastilah saya pantas mereka daulat sebagai “anjing yang merokok pula.” Alias sebagai oknum pengganggu yang berpotensi membahayakan kesehatan mereka.

Karena memang mereka memiliki kesamaan yang saya tidak tahu mengapa terjadi begitu saja. Ketiganya sama-sama mempunyai sakit asma. Dan saat itu, saya adalah seorang perokok berat pula.

Perokok dan pengidap penyakit asma, jelas tidak matching. Inilah kemudian ilustrasi dari interaksi yang terjadi : bersama Ria yang saat itu berkuliah di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, kami pernah melakukan date aneh kala mengunjungi pameran buku Ikapi di kompleks Jakarta Fair di sekitar Monas.

Problem pribadi pun segera muncul.

Karena memiliki gangguan asma, Ria pasti sangat menderita apabila berdampingan dengan diriku yang juga tidak tahan untuk tidak merokok. Kompromi yang terjadi antara kita adalah : dalam mengelilingi stan-stan, mencari buku-buku kesukaan, kami kemudian memilih saling jalan sendiri-sendiri. Jalan bareng macam apa pula ini ?


HI-TECH, HI-TOUCH. Acara date dengan skenario aneh itu, secara tak terduga, sebenarnya juga ikut menyelesaikan masalah tambahan lainnya di antara kami. Aku dan Ria, selain untuk buku-buku humor, sebenarnya kami tidak memiliki selera terhadap subjek buku yang sama.

Ria yang beragama Islam, tetapi saat SMP dan SMA ia belajar di sekolah Katholik, menyukai (saat itu) buku-buku agama. Sementara saat itu, tahun 1986, aku menyukai buku-buku komputer.

Begitulah, setelah keliling-keliling pelbagai stan buku secara solo itu berakhir, kami lalu ketemuan lagi. Kami kemudian saling unjuk masing-masing buku yang dibeli, yang segera menampakkan betapa kontras selera kita. Ria dengan buku-buku agama dan saya dengan buku-buku komputer.

Kekontrasan itu memicu saya untuk mengeluarkan canda. Saya merujuk ucapan terkenal futuris John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan buku topnya, Megatrends yang saat itu lagi berkibar-kibar di dunia.

Dalam buku itu mereka sebutkan bahwa di masa depan akan hadir fenomena hi-tech, hi-touch. Artinya, ketika seseorang semakin terlibat dalam pemanfaatan teknologi-teknologi tinggi maka dirinya akan tergerak pula untuk menjadi semakin relijius.

Canda serius saya : “betapa ramalan Naisbitt dan Aburdene itu bukankah bicara tentang kita, Ria ?” Canda itu saya sampaikan ke Ria dalam bentuk surat. Memang begitulah salah satu ujud ritual antara kami selama ini.

Walau sudah ketemuan, atau telpon-telponan, tetapi untuk hal-hal yang masih perlu diobrolkan, kita senang hati saling menambahkannya dalam bentuk surat-surat yang panjang. Karena Ria suka bilang, “surat-surat Mas Hari sering saya baca tidak hanya satu kali”.

Yang Ria mungkin tidak tahu bahwa dalam menulis surat itu saya harus melek separo malam. Juga menghabiskan rokok berbatang-batang pula.


ORTU TERLALU PROTEKTIF ? Ria sebenarnya belum banyak bercerita mengenai sakit asmanya. Ia juga tidak rewel tentang kebiasaan jelekku, merokok itu. Yang bisa saya kerjakan : saya tidak akan merokok ketika ketemuan sama dia.

Ria adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang pemimpin redaksi sebuah newsletter ekonomi yang terkenal. Kalau di rumah, saat dipanggil oleh ibunya dengan “Ria sayang”, terdengar Ria segera membalasnya : “Ya, mama, sayang”.

Bagi saya, yang berasal dari kultur kota kecil Wonogiri, sahut-sahutan dengan menonjolkan kata “sayang” seperti itu menurut saya rada berlebihan. Silakan mencap saya sebagai kampungan. Mungkin saya sedang mengalami benturan budaya, budaya urban vs. budaya desa.

Tetapi ekspresi kasih sayang yang bagiku rada-rada too much itu, mungkinkah merupakan wujud sikap orang tua yang terlalu protektif, terlalu melindungi anak-anaknya ?

Dan ini hanya kabar burung, bukan info medis yang sahih, konon justru sikap orang tua yang terlalu melindungi tersebut merupakan pemicu utama timbulnya penyakit asma pada anak-anak mereka. Itukah pula yang terjadi pada diri Ria ?

Saya tidak tahu.

Dalam suatu kesempatan lain, Ria saya jemput di kampus dan kami bersepakat keluyuran ke Pasar Seni Ancol. Ia nampak menikmati jalan-jalan seperti itu. Ia bilang, sejak SMP ia belum pernah mengalami “kebebasan” seperti ini. Juga menambahkan, kalau saja ketahuan orang tuanya, pasti dirinya akan habis-habisan dimarahi.

Benarkah limpahan kasih sayang yang berlebihan justru menjadi penyebab timbulnya penyakit asma ? Diagnosa yang mungkin, sekali lagi, kampungan. Barangkali yang benar justru yang sebaliknya.

Karena anaknya menderita sakit asma, maka kondisi rawan tersebut memicu orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya secara ekstra dalam memberikan perhatian, perlindungan dan kasih sayang. Pendekatan yang dapat kita maklumi.


MENGAKU SAKIT ASMA. Diagnosa yang sama mungkin berlaku atau tidak berlaku untuk seorang Cresenthya Hartati. Ia anak terkecil dari enam bersaudara.

Gadis artistik dan cerdas lulusan SMA Tarakanita 2 Pluit Jakarta ini, yang kadang rada-rada reckless, punya tulisan tangan yang indah serta dikaruniai kaki menawan ini, ketika berkuliah di Desain Produksi Universitas Trisakti mengaku memiliki kedekatan dengan mamanya.

Tetapi karena mamanya keburu meninggal dunia saat Hartati masih duduk di sekolah dasar, ia kurasa seperti merasakan sebuah “lubang besar”, kekurangan kasih sayang dalam masa-masa ia menginjak dewasa.

“Mas Hari, aku punya sakit asma”, akunya terus terang. Itulah sebagian ritual “buka-bukaan” yang suka ia lakukan, yang masih saya ingat. Ketika kita bersepakat untuk jadian maka kita saling membuka diri tentang diri kita apa adanya.

Hartati melakukannya secara agak sistematis. Dengan membuka catatan-catatan riwayat pribadi yang ia tulis sendiri. Ia pun menambahkan, “untuk semua sedihku, hanya pernah aku ceritakan kepada kamu.”


Aku kini menjadi rada bingung. Dalam kasus Ria, limpahan kasih sayang yang berlebih diduga menjadi penyebab ia menderita asma. Sebaliknya pada kasus Hartati, yang mengalami defisit kasih sayang dari orang tuanya, toh dirinya terus terang mengaku mengidap sakit asma juga. Bagaimana pula ini ?

Baiklah, biarlah kebingungan itu biar aku simpan sendiri saja.

Di sisi lain dari pengakuan Hartati itu, bagi saya, malah terasa sebagai suatu ofensif. Serangan untuk diriku pribadi. Apalagi kemudian, berbeda dengan Ria yang tidak rewel dengan kebiasaan merokok saya, Hartati justru berkali-kali menjadikan topik ini sebagai obrolan.

Misalnya dengan mengirimkan majalah atau guntingan artikel yang membahas mengenai bahaya merokok. “Aku pengin Mas Hari sehat-sehat. Juga bisa berumur panjang”, katanya lembut.

Itulah ujud perhatian dia.
Ujud cinta dia.

Tetapi sebagai lelaki, seperti halnya suatu pemerintahan, saya merasa tidak ada yang salah dalam kebiasaan merokok saya. Dengan merokok saya merasa lebih kreatif. Itulah sikap keras kepala. Merasa benar sendiri. Tidak menghargai pendapat pasangan tercinta.

Mungkin situasi yang terjadi antara dia dan saya tersebut mencocoki sebuah tesis bahwa wanita selalu ingin melihat pasangannya berubah, sementara lelaki tidak ingin pasangan perempuannya berubah, tetapi pada akhirnya keduanya hanya akan menjadi kecewa.

Desperado
Why don't you come to your senses
Come down from your fences
Open the gate


Memang sangat sulit merubah keyakinan seseorang. Juga untuk kebiasaan merokok. Seperti lirik lagu “Desperado” dari Eagles (1973), yang juga dinyanyikan oleh kelompok musik favorit saya, Carpenters, perubahan itu hanya bisa dimulai dari “dalam” diri orang bersangkutan

Bajingan tengik,
dengarkan kata hatimu
keluarlah dari pagar yang mengurungmu
dan bukalah pintu gerbangmu


Bujukan dan protes tulus Hartati itu akhirnya memang menjadi kenyataan. Saya mau membuka pintu gerbang perubahan dari dalam. Hal itu terjadi ketika suatu malam saya dipaksa berbaring sendirian di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur.

Saat itu saya merasa ada rasa perih-perih di dada saya. Mungkin istilah kedokterannya terkena angina pectoris. Istilah yang terdengar indah, tetapi menggambarkan kondisi defisit pasokan oksigen ke jantung yang bila berlanjut dapat mengancam jiwa.

Saat itu slang pemasok oksigen terpatok dalam lubang hidung saya. Kabel-kabel yang ujungnya dilengketkan dengan gel pada kedua pergelangan tangan, kaki dan dada, tersambung ke alat eletrokardiograf.

Saya tergeletak sendirian sambil cemas menyaksikan grafik berwarna kehijauan dengan latar belatang hitam itu menari, menggambarkan irama denyut jantung pada monitor peralatan eletrokardiograf. Mungkin itulah irama kehidupan atau kematian yang saat itu telah menantiku.

Pengalaman mendebarkan itu, lalu disusul peringatan dokter agar saya berhenti merokok, mendorong saya rela berjuang untuk berhenti merokok. Dan berhasil. Tetapi semua itu justru terjadi ketika saya dengan Hartati sudah bubaran.


Kembali ke masalah asma. Bagi saya, ada satu hal penting yang belum pernah Hartati ceritakan kepada saya. Kalau dirinya mengidap sakit asma, mengapa ia memelihara anjing-anjing di rumahnya ? Lebih berbahaya mana antara asap rokok dibandingkan dengan partikel dari bulu-bulu anjingnya ?

Apakah Hartati mencampur adukkan antara alergi dengan asma ? Ia sebenarnya hanya alergi terhadap asap rokok, tetapi tidak dengan bulu-bulu anjingnya, lalu membesar-besarkannya sebagai berpenyakit asma ?

Buku Corinne T. Netzer’s Big Book of Miracle Cures (1999) menjelaskan bahwa alergi dan asma bukan penyakit yang sama. Walau pun demikian, terdapat kaitan erat, tidak hanya gejala dan pengobatannya, tetapi faktanya penderita asma seringkali menderita akibat alergi.

Asma, faktanya, merupakan salah satu ujud alergi (baik alergi terhadap makanan mau pun alergi terhadap zat-zat yang terdapat udara) yang muncul. Walau pun demikian, penting untuk diingat, tidak semua penderita asma itu memiliki alergi.

Perbedaan besar antara asma dan sebagian besar alergi terletak pada tingkat keparahannya. Sementara beberapa alergi (misalnya tersengat lebah) mungkin perlu dirujuk ke unit gawat darurat, tetapi sebagian besar alergi merupakan gangguan kesehatan yang hanya membuat tidak nyaman dan menjengkelkan. Sementara itu, asma merupakan gangguan kesehatan yang kronis dan dapat mengancam jiwa penderitanya.


Gejala umum alergi meliputi : hidung mengeluarkan ingus (cairan bening, kuning pekat atau kehijauan yang mengindikasikan gangguan flu atau infeksi sinus), sesek, bersin-bersin, hidung dan mata gatal, mata berair dan bergetah, kulit secara temporer berbisul, bengkak atau ruam.

Berbeda dari alergi, serangan asma tidak melibatkan organ hidung atau mata, walau pun batuk-batuk di pagi hari merupakan gejala yang umum.. Asma merupakan penyakit saluran udara dari paru-paru yang terkena radang dan iritasi.

Ketika serangan terjadi, otot-otot pembuluh tenggorokan berkontraksi, menyempit, menimbulkan gejala utama asma, meliputi : mengi, nafas mencuit-cuit, megap-megap, kesulitan menarik dan menghembuskan nafas, sampai irama bernafas yang cepat dan pendek-pendek.


Pengakuan Hartati mengenai penyakit asmanya, bagi saya, kemudian merupakan teka-teki yang belum terpecahkan. Yang pasti, saya belum pernah satu kali pun mendapati dirinya saat terkena serangan alergi atau pun asma.

Pernah ia agak kolokan, katanya tiba-tiba merasakan melihat objek yang ia pandang menjadi dua. Mirip pandangan seseorang yang mabuk alkohol. Tetapi keluhan aneh Hartati itu tidak perlu berlanjut lama-lama.

Seseorang di dekatnya meminta ia memejamkan mata dan segera Hartati mampu melupakan gangguan penglihatan yang dobel semacam itu. Apalagi ia lalu tenggelam, atau terbang melayang saat merasakan bibirnya dilumat oleh pria yang mencintainya.


ANEZ, ANJING KESAYANGAN DAN ASMA. Pada penghujung Desember 2005, asma tiba-tiba kembali menjadi perhatian yang sangat mengagetkan saya. Pemicunya adalah ketika saya memperoleh kiriman e-mail dari Verdi Amaranto, 22 Desember 2005 yang lalu.

Mas Anto ini adalah kakak tertua dari Widhiana Laneza, atau Anez, wanita indah semampai, yang membuat saya jatuh cinta kepadanya di tahun 1981 sampai tahun 1987.

Anez berkuliah di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Anez memiliki beberapa ekor anjing kesayangan, baik yang ia beri nama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo.

Sejak kecil Anez rupanya sudah suka terhadap anjing. Lihatlah, dalam foto di bawah ini yang dijepret di tahun 1969, di Hanoi, Vietnam Utara saat itu.

Image hosted by Photobucket.com

Widhiana Laneza


Pesona sosok Anez dan relasi uniknya dengan satwa-satwa kesayangannya itu telah memercikkan ilham bagi saya untuk menulis buku kumpulan lelucon satwa, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Yogyakarta : Andi, 1987).

Image hosted by Photobucket.com

Cerita Untuk Anez


Anez, anak ketiga dari empat bersaudara. Adiknya Liana Rasanti, meninggal dunia saat baru berumur setahun, 1965.

Anez memiliki sakit asma.

Dirinya menderita seperti halnya tokoh-tokoh dunia dari Peter Agung (Kaisar Rusia), Ludwig von Beethoven, Charles Dickens (pengarang), Marcel Proust (Novelis Perancis), Theodore Roosevelt (Presiden AS ke 26), John F. Kennedy (Presiden AS ke 42), Elizabeth Taylor (aktris), Martin Scorsese (sutradara film), sampai Dennis Rodman, pemain bola basket AS kontroversial yang nyaris sekujur badannya penuh “seni batik” tato itu.

Pertimbangan terkait sakit asmanya itu pula yang membuat Anez memilih bekerja di Bali, dibanding kota Jakarta yang tingkat polusinya begitu tinggi, yang pasti tidaklah ramah bagi penyakit asmanya itu.

Anez, kelahiran Brussels 28 April 1963, meninggal dunia di Jakarta dalam momen yang menggetarkan hati. Yaitu 3 hari setelah pernikahannya. Pada tanggal 20 Desember 2005 yang lalu.

Apakah Anez meninggal dunia akibat dari sakit asmanya juga ? Mas Anto belum secara eksplisit bercerita tentang hal itu. Aku pun, dengan ikut sedih, hanya bisa menduga-duga.


ANCAMAN ASMA DAN KITA. Awal bulan Desember 2005, menjelang liburan panjang Natal dan Tahun Baru, American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI) telah mengeluarkan peringatan, bahwa bagi para penderita asma dan alergi lainnya, musim liburan menyimpan ancaman potensial bagi mereka.

“Apakah Anda bersibuk-ria menyiapkan pohon Natal, menengok binatang peliharaan sanak-saudara, atau berpesta menyambut liburan, ancaman pemicu timbulnya alergi mengintai di setiap sudut.”

“Akibat ketatnya skedul dan perjalanan yang terus-menerus sepanjang musim liburan, banyak orang mudah terlupa untuk merawat kesehatannya secara tertib bila menyangkut ancaman alergi dan asma”, kata Wanda Phipatanakul, MD, MS, FAAAAI, wakil ketua Komite Indoor Allergen dari AAAAI.

“Senantiasa mengingat pemakaian obat dan menghindari pemicu yang potensial merupakan hal penting agar gejala penyakit asmanya dapat terkendalikan”


Ancaman serangan asma memang bukan hal yang dapat kita sepelekan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, menurut ISL Consulting Co., terdapat sekitar 31,3 juta penderita asma. Angka ini naik dari 26 juta di tahun 1997. Terdapat angka 12 juta serangan sakit asma dalam 12 bulan terakhir.

Sebanyak 9,2 juta penderita asma berumur di bawah 18 tahun. Sebanyak 4,2 juta anak muda menderita asma dalam 12 bulan terakhir. Kematian akibat asma tercatat 4.487 orang, turun dari angka 5.000 di tahun 1997 dan 4.657 di tahun 1999.

Asma merupakan penyakit kronis paling utama yang menyerang anak-anak. Untuk mereka yang berumur 5 sd 17 tahun, asma merupakan penyakit nomor satu yang mengakibatkan mereka mangkir sekolah akibat kekronisan penyakitnya.

Sebanyak 10 juta hari sekolah hilang akibat penyakit asma. Anak-anak penderita asma tergeletak di ranjang sekitar 7,3 juta hari tiap tahunnya.


KAMPANYE ASMA GLOBAL. Untuk mengkampanyekan kesadaran masyarakat luas mengenai asma dan langkah penanggulangannya, telah dicanangkan gerakan Inisiatif Global Penanggulangan Asma (Global Initiative For Asthma /GINA) yang antara lain mencanangkan Hari Asma Sedunia, yang jatuh hari Selasa pertama bulan Mei. Hari Asma Sedunia tahun 2006 jatuh hari Selasa, 2 Mei 2006.

Salah satu gagasan untuk mengkampanyekan kesadaran terhadap asma tersebut, antara lain dengan meluncurkan situs web di Internet yang berisikan edukasi dan petunjuk penanggulangan asma. Juga mengampanyekan lingkungan yang bersih dari asap rokok dan debu pencetus alergi lainnya.

Sebagai orang yang bersyukur bisa berhenti dari kebiasaan buruk merokok dan membanggakannya sebagai salah satu prestasi hebat dalam hidup saya, sejak tahun 1989, maka program-program GINA tersebut menantang saya untuk ikut berperan serta di dalamnya.


UNTUK MENGENANGMU, ANEZ. Mengilas balik hidup saya, ternyata wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta, diakui atau tidak diakui, termasuk yang dalam fase hidupnya pernah mengidap penyakit asma. Untuk mengenang kebaikan-kebaikan mereka, situs blog tentang asma ini saya luncurkan.

Amor tussisque non celantur.
Love and a cough cannot be hid.

Asmara dan batuk tidak dapat disembunyikan Pepatah latin itu pun saya modifikasi : asmara dan asma tidak dapat disembunyikan. Bahkan, lebih lanjut, bagi saya kemudian, asmara yang terantuk pun juga tidak perlu disembunyikan.

Kekasih boleh hilang atau pergi, tetapi cinta tetap bisa abadi. Meninggalnya seorang Mumtaz-i-Mahal telah mampu menggerakkan suaminya, Syah Jehan, membangun Taj Mahal di Agra. Kiranya tak kurang eloknya apabila saya tergerak membuat satu-dua blog untuk mengenang wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta.

Terutama untuk mengenang almarhumah wanita indah, penuh pesona, Widhiana Laneza, “yang kini telah berjalan menembus awan,” now she's walking through the clouds, blog tersebut saya beri judul untuk mengabadikan Anez, nama panggilannya yang indah :

Anez : Asthmatics New Environment Zone

Blog ini dicita-citakan sebagai sarana untuk mempromosikan zona atau lingkungan baru yang ramah terhadap para penderita asma. Juga diniatkan menjadi salah satu mata rantai yang menghubungkan para penderita asma, keluarganya dan fihak-fihak yang menaruh simpati dan empati, dalam semangat saling asah-asih dan asuh untuk berbagi cerita, solusi, dan terutama saling meneguhkan satu dengan lainnya.

Semoga bermanfaat.



Wonogiri, 30 Januari 2006


PS : Saya bukan seorang dokter. Blog ini berisikan informasi-informasi yang bersifat non-medis. Untuk menanggulangi penyakit asma Anda, pastikan Anda tetap berkonsultasi dengan dokter yang berkompeten. Terima kasih.

Tuesday, January 10, 2006

Anez, Sendok Bengkok dan Numerology


Oleh : Bambang Haryanto

Situs blog ini lebih tersaji prima bila Anda akses denngan browser Mozilla Firefox.



Sendok Bengkok. Ketika suatu malam (1/2/1987) main ke rumah Anez, di Cilandak, saya diajak nonton acara Aneh Tapi Nyata yang saat itu disiarkan oleh TVRI. Dipandu oleh aktor koboi, Jack Palance.

“Mau nonton engga ?”, tanya Anez.

Saya diajak ke bagian belakang rumahnya. Memasuki ruang yang diisi pesawat televisi besar. Ada piano. Ada dua atau lebih kursi malas. Di tembok antara lain terpajang gading gajah besar dan berukir. Ada 2 mandolin dan lukisan kaligrafi Arab.

Kita nonton berdua. Termasuk dalam ngobrol-ngobrol itu kita rada saling “bertengkar”. Karena Anez lebih menyukai siaran itu diselenggarakan dalam bahasa Inggris sebagaimana aslinya. Sementara saya, yang menguasai bahasa Inggris sekadarnya, tentu saja protes.

Saya tak lagi ingat, mungkin ada tayangan yang berbau keajaiban, obrolan kita malam itu merembet ke masalah hal-hal berbau metafisika. Aku engga yakin dengan penggunaan istilah ini tepat atau tidak. Rada-rada berbau klenik. Paranormal.

Pendek kata, Anez cerita tentang fenomena Uri Geller, asal Israel, yang dengan pandangan matanya mampu membengkokkan sebuah sendok. Aku tahu yang Anez ceritakan. Dari nada ceritanya, oh, baru aku tahu kalau Anez juga memiliki perhatian terhadap sisi-sisi unik dan luar biasa yang sulit dicerna oleh akal ini. Dalam suatu kesempatan, saya pernah mengirimkan fotokopi tentang topik ini kepadanya.


Fast Forward : 2006. Saya baru saja menerima hadiah dari temanku di Melbourne, Lasma Siregar. Salah satunya adalah kartu numerology, produksi Wallet Wisdom Card, Australia. Seukuran KTP, berlaminasi. Disebutkan bahwa “numerology berdasar kaidah Pythagoras mengaitkan kehidupan dengan makna dan kebenaran universal” dan “makna yang terdapat dalam nama, tanggal kelahiran dan pelbagai peluang kehidupan yang penting”

Saya mencoba menganalisis nama dan tanggal kelahiran Anez menurut kajian numerology ini.

VIBRASI JIWA. Jantung. Merupakan penjumlahan dari seluruh huruf hidup nama yang diberikan pada kelahirannya. Angka ini membedah isi terdalam diri Anda, rahasia pribadi, siapa diri Anda sebenarnya. Angka yang diperoleh Anez adalah = 9.

Kualitas Anez : Consciousness. Universal. Awareness. Completion. Psychism. Kepribadiannya : Selfessness. Courage. Humanitarian. Impulsive. Extrovert. Planet : Mars. Batu : Ruby, Garnet


VIBRASI KEPRIBADIAN. Citra. Penjumlahan dari seluruh konsonan dari namanya saat dilahirkan. Mencerminkan citra Anda tentang dunia dan bagaimana dunia memandang dirinya. Anez memperoleh angka “luar biasa”, yaitu : 11. Maknanya : ia memiliki kepribadian Visionary, Humanitarian.


VIBRASI NASIB. Tujuan. Penjumlahan seluruh huruf hidup dan konsonan dari namanya saat dilahirkan. Angka ini merupakan gabungan antara diri pribadi, karier dan tujuan hidup. Anez memperoleh angka 2.

Kualitas diri Anez digambarkan sebagai : Duality, Division, Feminine – Yin, Truth, Beauty, Unconscious. Kepribadiannya mencakup : Shy, Quiet, Indecisive, Cooperative, Gentle, Romantic, Sympathetic. Planet : Bulan. Batu : Batu bulan, mutiara.


PELAJARAN HIDUP. Nasib. Merupakan penjumlahan seluruh angka kelahirannya. Angka nasib. Anda dapat menguasainya dan memperoleh keberhasilan dalam hidup, atau menjadi terkendala dalam hidup ini. Anez memperoleh nomor : 6.

Kualitas diri Anez digambarkan sebagai : Love. Arts. Harmony. Magnetism. Union. Equilibrium. Ideals. Kepribadiannya mencakup : Romance. Sex. Wise. Understanding. Introspective. Devoted. Planet : Venus. Batu : Diamond, Emerald.



Wonogiri, 11 Januari 2006

Thursday, January 05, 2006

Eulogi Untuk Widhiana Laneza dan Sepakbola Indonesia


Oleh : Bambang Haryanto

Blog ini lebih sempurna untuk Anda baca
apabila Anda akses melalui browser Firefox Mozilla.


Sepakbola Kotor Di Indonesia. Sepakbola Indonesia telah mati. Karena sportivitas telah lama mati. Wartawan harian Kompas, Yulia Sapthiani, ketika menulis laporan tutup tahun persepakbolaan Indonesia sepanjang tahun 2005, mengemukakan analisis yang mengentak.


Suasana kejiwaan yang dominan melingkupi insan sepakbola negeri besar ini adalah sikap mental katak dalam tempurung. Juara liga Indonesia adalah tujuan puncak, meski harus dilalui dengan cara “kotor” sekali pun, tulis Yulia. “Kompetisi di Indonesia sama sekali tidak menganut asas fair play”, keluh Fachry Husaini, asisten pelatih tim nasional.


Saya jadi saksi, baik di Jakarta atau pun di Singapura, timnas kita dibekuk oleh Singapura dalam Final Piala Tiger 2004/2005.

Image hosted by Photobucket.com


TAK ADA KEBANGKITAN. Kehadiran suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang Singapura, diramaikan spanduk yang khusus kami bawa dari Solo, Indonesia. Kalau Anda jeli, foto paling kanan adalah fotonya Mayor Haristanto dan saya. Sayang, tak ada keajaiban. Tidak ada kebangkitan. Di leg pertama Final Piala Tiger 2004/2005, di Senayan timnas kita dipukul Singapura, 1-3. Di Kallang ini kami jadi saksi, timnas kembali kalah dengan 2-1. (Foto : Dokumentasi BOLA)>


Sesudah kegagalan itu, PSSI jualan kembang gula penghibur baru lagi kepada publik bola tanah air. Mencanangkan target juara di SEA Games 2005 Manila, tetapi akhirnya hanya berbuah betapa anak-anak asuhan Peter Withe kembali ke tanah air dengan tangan hampa. Perunggu pun tidak.


Panorama puncak kompetisi domestik, Liga Indonesia 2005, dicederai mentah-mentah oleh Persebaya yang mengundurkan diri, yang membuat Persija melenggang santai meraih partai puncak. Banyak orang bersyukur, tim ibukota negara yang melimpah uang itu akhirnya dirontokkan oleh anak-anak mutiara hitam Papua.


Cinta Yang Belum Padam. Bagi saya, sepakbola Indonesia memang telah lama mati. Saya pun telah memvonis sepakbola Indonesia telah lama mati. Di Tabloid BOLA (24/1/2003), persis tiga tahun lalu, saya menulis opini : “Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati”. Sejak itu, saya tak menulis opini lagi di tabloid terbesar ini.


Tetapi api cinta kepada sepakbola, ternyata belum padam sama sekali. Gara-gara saya memiliki blog Suporter Sepakbola ini, rasa mabuk kepayang terhadap sepakbola, rupanya harus terusik lagi. Membara lagi.


Inilah ceritanya.


Gara-gara boss majalah Freekick, yang akan terbit di awal tahun 2006 ini, chatting dengan Totot Indrarto, mantan creative director SatuCitra yang juga kritikus film, arahnya berbelok kearah saya.


Totot atau sering dikenal dengan sebutan Pakde ini pernah menggagas Mandom Resolution Award (MRA) 2004, di mana saya ikut serta. Saya menuliskan suka-duka mengikuti kontes tersebut dalam blog Esai Epistoholica saya. Pas berlangsungnya MRA 2004, sampai kini, saya belum pernah ngomong langsung dengan dia. Komunikasi hanya lewat email.


Rupanya ia berkenan menjelajah blog-blog saya, dan nyasar pula ke blog saya mengenai suporter sepakbola Indonesia. Chief editor majalah Freekick yang sering menulis kolom sepakbola di harian Kompas, Andi Bachtiar Yusuf, rupanya terbujuk oleh saran Totot Indrarto Entah apa yang terjadi, sehingga akhirnya ia meminta saya untuk menulis kolom di majalah Freekick itu pula.



Saya tinggal di Wonogiri. Dari Solo arah ke selatan, 32 km. Karena kota kecil saya ini topografinya terkepung oleh gunung, saya tidak bisa nonton tayangan sepakbola di SCTV dan TV7. Juga terlalu lama tidak membaca-baca FourFourTwo atau World Soccer. Terakhir, membolak-balik kumpulan lelucon mengenai David Beckham dan istrinya, di toko buku Times NewsLink, Terminal 1 Bandara Changi Singapura, tetapi aku malas untuk membelinya.


Masa lalu itu, cinta lama saya terhadap sepakbola, kemudian melambai-lambaiku. Untuk kembali. Persis bersamaan momennya, gara-gara menulis blog mengenai wanita-wanita terindah saya, masa lalu lain juga merenggutku untuk kembali.


Wanita Terindah Telah Pergi. Menjelang akhir Desember saya menerima email dari Verdi Amaranto*. Nama yang tidak kukenal. Isi emailnya membuat diriku membeku : “Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan blog Anda, "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list wanita-wanita terindah Anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya”


Sepakbola Indonesia telah lama mati. Kini seorang wanita terindahku, “telah berjalan menembus awan” pula. “Now she's walking through the clouds /With a circus mind /That's running wild /Butterflies and zebras /And moonbeams and fairytales /All she ever thinks about is /riding with the wind “, penggalan lirik lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix.


Kepergian Anez, yang dulu suka bercanda dengan anjing kampung yang ia beri nama Grigri, jimat dalam bahasa Perancis, membuatku mampu menangis pada puncak malam. “Tumpahkan air matamu hingga memenuhi sebuah kapal”, pepatah Srilanka yang memberi arah bagaimana kita harus melupakan rasa kehilangan dan kesedihan. Untuk itu, telah pula aku buatkan situs blog, Song Fopr Anez, untuk mengiringi kepergiannya yang abadi. Kepergian Anez, yeah, harus diikhlaskan


Fly little wing

I want her to fly


Tetapi bagaimana dengan sepakbola ? Peneliti seks Shere Hite yang terkenal dengan buku Hite’s Report, yang gengsinya setara dengan buku-buku laporannya Johnson dan Masters, telah menyimpulkan : football can be categorised as a type three masturbatory technique. Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi yang ketiga.



Mari kita nikmati ramai-ramai sensasinya.

Di bulan Juni-Juli mendatang, mari kita orgasme sama-sama pula !


Wonogiri, 3 Januari 2006



* Ketika saya naksir Anez, Mas Anto atau Verdi Amaranto lagi menyelesaikan kuliahnya di Paris, Perancis.


Monday, January 02, 2006

Air Mata Untuk Anez Memenuhi Sebuah Kapal




Mengenang Blog-Blog Lamanya Tina (Juga 2005) Dan Menabur Harapan (2006) Untuk Superblognya Tina

Oleh : Bambang Haryanto


Syukurlah, hari ini aku masih bisa menemui situsnya tina yang lama. (Aku bersyukur karena situs itu tidak/belum hilang.

Kemarin aku masuk dari link di blogku, Close To You, dan kini melalui Komedikus Erektus. Aku bilang syukur karena di depan sudah ada peringatan bahwa umur situs ini tinggal menghitung hari. Siapa tahu, esok akan kutemui broken link, dan putuslah hubungan diplomatik antarblog. Harus angkat duta besar baru. Harus menulis sejarah baru lagi.

Gara-gara tiba-tiba ada blog yang hilang (tak hanya milik Tina ?), maka baru saja saya menulis postingan baru, isinya nyebut-nyebut isi majalah Playboy, artis Indonesia yang tampil di sana, dan juga Tina. Jangan kuatir, antara ketiganya tak ada kaitan. Tetapi dan tetapi, aku belum menghidupkan link dengan blognya Tina yang baru ini. Belum hafal URL-nya. Akan aku tunggu setahun lagi.) Bila mantap, baru bisa dibuat link.


Buntut Sapi Yang Hilang. Begitulah, kayaknya sesuatu yang akan berakhir sering membuat orang tersadar betapa masih banyak hal yang selama ini tidak atau belum difahami. Momen terbatas itu seolah membuat waktu yang ada jadi lebih berharga. Pepatah Belanda kan bilang, seekor sapi tak tahu apa manfaat buntut sebelum ia kehilangan buntutnya sendiri.

Maka sebelum buntutnya Tina, eh, blog lamanya Tina itu hilang, yach, ditengok-tengok lagi, begitulah. Dan seperti meniru ulah anjing, cepet-cepet aja meninggalkan kencing di sana-sini. Aku ninggalin satu, kepencet jadi dua. Persis dibawah gadis biru, Chris, pendiri dan pemimpin ANW (Anton Ngupil Watch) dan di kalangan CNN, NBC dan MSNBC, Chris terkenal sebagai VJ (video journalist) andalan untuk TIT (Tegal International Televisions).

Kencing bagi anjing atau beruang adalah bahasa, “this is my territory”. Kalau saya kencing beneran di blog ini, ya pasti bakal kesetrum. Plus dimarahi penjaga warnetnya. Atau dilaporin ke SBY, dituduh sebagai ekshibisionis model foto heboh a la Mayangsari bermesraan bersama BTA.

Aku tidak meninggalkan air kencing anjing, tapi hanya bisa nulis komen-komen seperti ini. Maklum, hanya itu kebisaanku sebagai blogger, sedikit joker, plus story teller. Apalagi mengingat karakter Tina yang kadang (diulang 30 kali) lebih menonjol sebagai techie, bukan teacher, maka ia aku kuatirkan bisa dengan dingin memenggal eksistensi sesuatu blog. Walau, tentu saja, dengan alasan yang bisa dimengerti. Terutama bila ia nanti bilang, “ini blog gue. Semau gue dong”.


Creative destruction. Kalau begitu, mungkin Tina, tak terasa, memang sudah jadi muridnya Joseph Schumpeter, ekonom Austria-Amerika. Eyang Joseph ini kan punya semboyan terkenal : creative destruction. Pokoknya hal-hal yang yang tak punya nilai tambah pasti akan dihancurkan oleh inovasi-inovasi yang lebih baru.

Tina kayaknya rada berkecenderungan seperti itu kan ? Tina suka inovasi dan inovasi. Coba hitung, berapa kali ia ganti lay out (aku engga suka ditulis sebagai “leot”, karena imagery yang muncul di kepala engga indah) dan pembaca blognya setiap kali harus mengikuti navigasi-navigasi baru yang ia sajikan.

Boks Bengok kadang muncul, kadang hilang. Mungkin karena Tina suka berbaik sangka : semua pembaca blognya itu secanggih isi kepalanya Tina seputar desain dan pernik-pernik teknik blog. Coba, contoh kecil lainnya lagi, silakan baca teks yang Tina tulis di artikel swan song dari blognya yang lama. Anda faham benar atas apa yang Tina maksud ?

Apa itu b2revolution ? Bener engga nulisnya ? Aku lalu mudah saja menebak, oh, itu singkatan dari bastille to revolution, kan ? Revolusi Perancis.

Untuk topik satu ini, kalau boleh memutar roda waktu, saya akan lebih suka bertanya kepada Anez. Ia tahu banyak tentang negeri anggur itu. Ia salah satu wanita terindah, tetapi kini saya tak tahu bahasa apa yang harus kupakai untuk ngomong sama dia. Ia baru saja sampai pada huruf Z dari hidupnya, dengan momen yang luar biasa. “Menangislah sampai air matamu memenuhi sebuah kapal”, begitu kata pepatah Srilanka.


Teks-teks Tina itu memang tak perlu membuatku menangis. Hanya saja saya tak tahu istilah-istilah ilmu roket yang ia beber di sana. Itu bukan dosa Tina, sih. Tetapi juga bukan dosa saya. Kasus “bahasa ilmu roket”-nya Tina ini kiranya mudah mengingatkan saya akan dua nama terkenal : Deborah Tannen dan Geoffrey A. Moore.


Pakar Ilmu Cunilinguistik. Anda tahu ilmu linguistik ? Saya tahu, selera Anda untuk meneruskan membaca obrolan ini pasti jadi loyo. Well, linguistik memang bukan paparan menarik. Saya pernah masuk kubangan di mana banyak wanita-wanita cantik, yang fasih Sastra Rusia, Jepang, Jerman, Perancis sampai Cina (mereka punya sebutan eksotis : kaum “WTS”) tetapi setiap kali ngomong selalu memunculkan linguistik.

“Aku engga bisa, esok ujian linguistik”. “Ngga bisa nelpon lama-lama, ada PR linguistik” Sokurlah, saya tak pernah mendapat kuliah linguistik,. Tapi pernah merasa jadi pakar untuk sub jauuuh dari ilmu tersebut. Cunilinguistik. Yang memberikan penilaian justru mahasiswi Jurusan Desain Industri, jurusan yang tak pernah tahu apa itu linguistik.


Deborah Tannen adalah pakar linguistik, pengarang buku You Just Don’t Understand. Ia membedah perbedaan pola komunikasi antara pria vs wanita. Kalau antarpria, komunikasi yang terjadi adalah kompetisi. Harus ada yang “up” vs yang “down”. Dengarkan saja obrolan dua anak lelaki. Pasti mereka ingin saling unggul.

Episode sitkom “Friends” pernah menampilkan adegan neraka saat Ross harus menemani Mike, atau Mike harus menemani Ross. Berdua di satu ruang tamu, lihatlah, betapa sulitnya mereka untuk mengobrol. Sementara itu, kata mBak Tannen, komunikasi antarperempuan lebih menonjol untuk mencari keserasian, saling confirm, meneguhkan. Para wanita itu juga cenderung lebih suka menerangkan, menjelaskan.

Dalam atmosfir persaingan antarpria, maka dalam komunikasi mereka yang paling mudah berhamburan adalah istilah-istilah teknis. Sebab istilah-istilah itu ibarat peluru-peluru yang melesat untuk melumpuhkan lawan bicara. Kalau fihak lawan dianggap tidak tahu sesuatu istilah, maka ia dianggap sebagai fihak yang kalah.

Tina, mungkin sudah tak menyadari bahwa dirinya sudah ketularan bahasa dan istilah-istilah macho itu. Pernah ia tiba-tiba menulis istilah “css” padaku. Tanpa bla-bla-bla. Tanpa keterangan. Aku tak tahu “c.s.s”, tapi tahu “a.s.s”.

Maka aku sebut saja Tina sebagai “T the T” : Tina si Techie. Istilah lainnya : “nerd”. Aku juga engga yakin suaminya, Franz, “ngeh” pula atas isi tulisannya Tina di blog lamanya tersebut. Tentu saja, ke-techie-an Tina itu bukan bencana. Malahan berkah bagi kita. Untuk itu, ayo skarang sekarang waktunya bertanya lebih lanjut kepada Pak Moore.


Pak Moore ini punya ajaran mengenai menyeberang jurang. Crossing the chasm . Judul buku yang membuat musik di telinga dan indah di mata. Ia membincangkan adanya beragam karakter konsumen teknologi. Aku belum kuat beli buku teknik lintas jurang ini. Maka cari-cari akal untuk mencuri-curi baca di toko buku. Tentu saja bukan di Wonogiri.

Tempatnya asyik, QB World of Books, Jl. Sunda, belakang Sarinah, Jakarta. Di bawah bakmi GM. Dibanding toko buku Borders atau Kinokuniya di Orchard Road, dua toko ini menang dalam ukuran sepakbolanya. Spacenya seluas lapangan sepakbola. Tapi di QB, sedikit lebih cozy. Pengunjungnya lebih sedikit. Jadi engga begitu berisik, lebih private. Toko buku bergaya kafe.

Dulu di Times Bookshop Indonesia Plaza, baru mau catat judul saja sudah dipelototi penjaga. Kuno loe. Dan koleksinya di sini lebih banyak buku terbitan Inggris. Tetapi di QB-nya Richard Oh yang pencinta sastra ini, lebih banyak dari penerbit AS.

Dan kita sambil baca, di sofa empuk, telinga akan dibelai Luciano (“Ave Maria, gratia plena, Dominus tecum: Benedicta tu in mulieribus…”) Pavarotti. Atau, Andrea Bocelli yang berduet dengan Holly Stell (“I can fly in my mind/To a place/Peaceful and full of grace/Come with me”).

Duetnya sama Helena, si orang Itali dan bukan Indo Idol, juga bagus. Saya sudah dua kali pesen buku via QB, dua-duanya buku tentang komedi yang didatangkan langsung dari AS. Kok engga lewat Amazon aja ? Orang Wonogiri dilarang punya kartu kredit.


Pengguna Awal. Geoffrey A Moore terkenal dengan bukunya itu, Crossing The Chasm : Marketing And Selling Technology Products To Mainstream Customers (1999). Menurutku, Tina itu dari kacamata klasifikasi Mas Moore pantas digolongkan sebagai early adopters, pengguna awal. Yaitu sekelompok kecil orang-orang nerds, penggila teknologi baru, yang gatal atau gelisah berat bila tidak memiliki produk-produk teknologi baru yang masih “kebul-kebul” keluar dari pabriknya.

Kelompok konsumen teknologi sekaliber Tina ini berada di depan dari kelompok early majority, mayoritas awal dan late majority, mayoritas belakangan. Mayoritas belakangan ini adalah kelompok konsumen teknologi yang gemuk, potensial, dan terdiri dari kebanyakan orang-orang yang biasa saja.

Di ujung ekstrim terdapat kelompok yang paling buncit dan terlambat dalam memanfaatkan teknologi. Mereka disebut sebagai kelompok laggards, terbelakang. Saya pasti termasuk kelompok si pencorot ini. Makanya aku tidak tahu “c.s.s” karena hanya baru bisa mengagumi keindahan “a.s.s”.


Lalu, apa pamrih dari segala omongan tentang teori Mas Moore ini ? Harapan : moga di blog barunya Tina ini, subrubrik yang ia sebut Tutorial (Membangun Blog Indah) harus diteruskan. Cerita terkait : beberapa saat lalu di blognya tokoh blog Indonesia, Priyadi.Net dimuat peringkat 300 blog top di Indonesia. Cara menentukannya, aku tak bisa me-recall disini. Tetapi sebagian besar blog yang ada di peringkat atas (al milik Enda Nasution yang terkenal itu), adalah blog-blog teknologi komputer.

Kalau anda pernah baca bukunya Ray Hammond, Digital Business : Surviving and Thriving in an Online World (1996), ia menyebut fenomena self-reference. Artinya, di awal sesuatu pertumbuhan suatu teknologi baru maka subjek yang gencar diperbincangkan adalah tentang teknologi baru itu sendiri.

Siapa tahu, kita berharap, blognya Tina nanti masuk dalam top 300 list a la Priyadi tadi. Saya sebagai pengguna TI kelompok terbelakang, seperti pernah saya usulkan sama Tina, gunakanlah metode bimbingan model serial buku-buku The Idiot’s Guide To….. dalam rubrik Tutorial-nya Tina itu.

Sekadar info : Buku-buku ini tampilannya mencolok, berwarna oranye hitam. Kalau buku-buku panduan pemanfaatan TI buatan dalam negeri seringkali ditulis dari kacamata para ahli, semakin banyak istilah-istilah aneh penulisnya semakin merasa top dan pembacanya (terpaksa banyak-banyak makan puyunghay, “tapi puyunghay khas masakannya Tina” lain lho…rasanya) bingung. Tetapi dalam buku-buku seri Idiot itu struktur penulisan sampai dengan bahasanya disesuaikan dengan kacamata awam. Banyak humor. Ayo Tina, lebih banyak humor ya ?


Mencederai hubungan ? Apalagi ceritanya ? Saya mau minta maaf sama Tina. Saya pernah menulis di komen di blog lama, mungkin membuat sebel Tina. Saat itu di boks email saya beberapa kali mendapatkan kiriman cerita lucu dari Tina. Terakhir, kiriman itu berupa 4 foto artis mirip Mayangsari dan pria mirip anak bekas pemimpin Orde Baru. Lalu saya kirim protes, di boks bengoknya Tina, agar aku engga lagi dikirimi info-info soal selebritis semacam itu.

Maaf, Tina. ya saya tahu, seperti dibahas lanjutan dari bukunya mBak Tannen, kaum wanita itu menomorsatukan relationship. Makanya di blognya Tina sarat dengan teman-teman dan kenalan yang baik-baik hati itu. Tetapi dengan protes saya di boks bengoknya Tina, tentu, tidak ada niat sama sekali untuk mencederai semangat membina relationship yang natural milik kaumnya Tina itu.

Masalahnya, bagi saya, sori ini kekerdilan pria yang tak canggih dalam small talk : mbok ya saya diberi info yang lebih berguna. Misalnya : Pak.De, saya menulis tentang Sideblog. Sideblog adalah bla, bla, bla, silakan klik di sini untuk pengin tahu manfaatnya untuk memperkaya tampilan blog Pak.De.


Terakhir, saya menyukai kata journey dari blognya Tina yang baru ini. Kayaknya lebih terpilih, lebih ekstrovert, dan lebih action, dibanding nama-nama blognya Tina yang lalu yang juga indah itu. Sebenarnya sih saya mau mengomentari “Meerjungfrau”, tapi kayaknya ceritaku nanti akan lebih cocok untuk didongengkan kepada Chacha, daripada kepada emboknya.

Tentang mata biru gadis seteduh samudera, batu koral, cahaya yang menari, kapal-kapal, atap istana yang terbuat dari kulit kerang (“….. that open and close as the water flows over them. Their appearance is very beautiful, for in each lies a glittering pearl, which would be fit for the diadem of a queen”) dan impian.

Tapi di blog “meerjungfrau” itu aku pernah hadir, ibarat Tina, Franz dan Chacha lagi melaksanakan acara banquet mewah. Ada musik pengiring, orkes simfoni dari Austria. Lalu aku tiba-tiba ditarik untuk naik ke atas panggung, oleh Tina diberi gelar sebagai Sir (=baca : Pakde, kini Pak.De), disebut pula sebagai juragan Bulog (karena banyak makan asam garam kehidupan), dan Tina menuliskan tajuk pestanya dengan judul : “Aku Disini”.

Jangan lupa, sesuai kota domisili Tina & keluarga saat ini, di Ulm yang tepian sungai Danube, maka musik pengiring pesta saat itu adalah karya Johann Strauss yang paling (menurutku) indah dan terkenal : The Blue Danube Waltz.

Dalam momen lain, ketika Tina menulis topik “Manfaat Blog” yang berdekatan dengan HUT-nya, aku sebenarnya menulis komentar juga. Kata Tina, di artikel menarik itu, menulis di blog itu mengabadikan kenangan. Ada sobat yang komentar, “bagaimana bila hosting blog gratis itu dihapus ?” Lalu Tina menjawab ba-bi-bu. Apa persisnya, silakan ditanya Dia. Apa ia konsisten dengan apa yang ia katakan, silakan kembali bertanya.

Sayang koneksi internet di Wonogiri lagi melorot (seperti juga sidebar blogku baru-baru ini, gara-gara nafsu ekshibisionis, pasang foto, memuncak ; hingga harus aku dokterkan ke Tina. Tetapi aku engga tahu bahwa Tina itu punya gunting besar, akibatnya portofolioku, plus sedikit egoku, kena sunat besar-besran !), aku sulit posting di blognya Tina.

Padahal, hmmm, isinya banyak ilmunya lho. Aku tulis dalam komentar itu Tina sebagai orang ketiga. Karena aku ingin berdialog dengan sesama pengisi komen di blognya Tina, ngerumpiin Tina. Di balik layar (tembus pandang), membeber apa makna kehadiran Tina di komunitas blogger seputar dirinya. Aku juga nyebut-nyebut isi majalah Cosmopolitan segala lho.

Dasar lagi apes. Koneksi akses lamban, tarif akses warnet hampir mendekati jumlah uang yang ada di kantong, tak bergerak-gerak, maka postingan komen itu aku ubah jadi email ke Tina. Modus komunikasi yang aku angankan adalah one-to-many, moga-moga lalu memicu diskusi yang many-to-many, akhirnya hanya one-to-one. Tina pun membalas : komentar itu ia baca kata-per-kata, katanya. Metode baru membaca ya ?


Foto Palsu Di Blog. Tentang pemberian gelar Pakde (yang baru agak di-Jerman-kan : Pak.De) ada cerita sedikit. Itu lho, priyayi baik hati dan ganteng yang kini mengumpulkan miliaran riyal di Dhoha, Qatar, bernama John Hendrawan, ikut-ikutan menyebut Pakde padaku. Langsung saya pelototin. Kalau terus nyebut pakde, pasang label pakde, isi blog Anda tak akan saya sebut-sebut di blog saya.

Saat itu kan saya tak tahu apa itu Photobucket.com. Barusan saya diajari cara memakainya oleh Tina. Lalu diam-diam memasang foto. Foto palsu. Itu orang yang tinggalnya di timur dari barat tempatku. Toh, akhirnya ketahuan juga. John punya komentar xxx, artinya “mas”, sementara Tina memberi komentar berbahasa Urdu : xixixi. Artinya, aku tak tahu.


Scarcity Mentality. Oh ya, di blogku, link untuk blognya Chacha aku tulis begini : Chacha Cantik Dari Ulm Jerman. Apa URL-nya nanti juga berubah, Tina ? Dan, hallo sobat blogger, apa Anda tak tertarik mengikuti “metode” penulisan saya semacam ini ? Oh, apa sobat-sobat itu dalam ber-blog rolling (tul ngga ?) apa belum pernah mendapatkan kiat-kiat elementer dalam kiprah publikasi atau periklanan ?

Apa belum pernah menghayati apa perbedaan antara scarce mentality versus abundance mentality dari buku 7 Habits-nya Eyang Covey bila mengobrolkan media berbasis digital ?

Maksud saya begini. Kalau di blog roll Anda hanya memuat nama si pemilik blog tok, mungkin ditambah kota asalnya, hal itu tidak memberikan informasi apa-apa kepada pembaca blog. Tidak memunculkan info yang rada komprehensif. Juga tidak ada rayuan, persuasi, bujukan untuk menengok blog bersangkutan. Blog roll yang rada mubazir. Idealnya, info tiap –tiap blog itu ditulis seperti anotasi yang kita temui dalam memanfaatkan Google.

Blog itu media berbasis digital. Bahan bakunya, integrated circuit, terbuat dari pasir dan pasir itu melimpah ruah di dunia. Media publikasi berbasis digital itu bangunannya dari sinyal-sinyal elektronik, yang berbeda dari media atom (kertas), stoknya tak terbatas. Maka , bagi saya, sungguh aneh bila kita-kita ini dalam menulis blog roll kok begitu pelit, menulis komentar juga begitu pelit, dan bahkan menulis blog juga pelit. Itulah mental serba langka, scarce mentality.

Padahal, dengan media tanpa batas itu, sebaiknya yang dipakai adalah sikap mental abundance mentality. Pepatah Zen bilang, semakin banyak Anda memberi, akan semakin banyak pula Anda menerima. Memang masih tak mudah bagi saya untuk konsisten menerapkan ajaran itu. Tetapi, paling tidak, menurut saya, menulis di blog (entah isi, email sampai komentar) adalah seperti melakukan donor darah.

Tidak semua darah kita didonorkan, tetapi yang hilang itu akan segera memicu timbulnya darah-darah yang baru, yang lebih segar. Ada proses atau siklus akuisisi dan pelepasan informasi yang serasi, antara yin dan yang (tul engga ?), dan bagi saya, hal semacam itu selalu membahagiakanku.

Menulis-menulis di blog, seperti ajaran bapak penemu Snoopy (kenal ?), Charles Schulz, pahalanya otomatis kita nikmati ketika kita sedang mengerjakannya. Reward is in the doing. Dahsyat. Nikmat. Sehat. Sokur-sokur bermanfaat.

Reward kecil itu pula yang ingin saya berikan untuk pemilik superblog ini. Bahwa untuk seputar kata journey, ada penyair Amerika, Walt Whitman (1819-1892), menulis dalam satu puisinya : I believe a leaf of grass is no less than the journey-work of the stars. Aku engga tahu apa maknanya, tapi aku rasakan indah banget imagery yang hadir di sana.

Lalu kata journey itu juga mudah mengingatkan saya akan Robert Frost, penyair kesayangan Presiden Kennedy dan mirip semangat kata-kata indahnya Ralph Waldo Emerson…..Ah, di stop dulu. Disimpen dulu. Siapa tahu nanti bisa jadi bahan komentar-komentar (darah baru) di situs superblognya Tina ini. Wis ah.

PALING AKHIR. Pertanyaan ini menjengkelkan. Engga usah dijawab. Silakan dijawab dalam hati dan aksi. Yaitu : Himalaya apa yang ingin anda pindahkan dengan tulisan-tulisan dalam blog Anda ? Himalaya adalah cita-cita puncak, teragung, dalam hidup Anda.

Selamat Hari Natal untuk Tina, Franz dan Chacha plus seluruh sobatnya Tina di blog ini. Selamat Tahun Baru 2006. Sukses dan sejahtera selalu untuk Anda semua.

Wonogiri, 26-27 Desember 2005.


PS : Menulis komen di blognya Tina ini rasa mabuknya persis sama saat menulis surat dan nulis buku untuk Anez, dulu-dulu itu.


Comment by Bambang Haryanto — December 27, 2005 @ 4:47 am

Widhiana Laneza : 20 Desember 2005





Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com


Wir haben, wo wir lieben, ja nur dies :
einander lassen; denn dass wir uns halten,
das fällt uns leicht und ist nicht erst zu lernen.

(Rainer Maria Rilke, 1875–1926
Penyair Jerman)



The MySpace Generation. “Mereka hidup secara online. Mereka berbelanja secara online. Mereka bermain secara online. Kekuatan mereka semakin menguat.” Itulah judul laporan utama majalah bisnis terkemuka, Business Week (12/12/2005).

Anak-anak muda kini hidupnya semakin terintegrasi dengan sarana-sarana teknologi informasi dan layanan yang tersedia. Mereka juga semakin tergantung pada apa yang disebut sebagai jaringan sosial online, termasuk bersaranakan blog, untuk menancapkan identitas sosial mereka.

Situs blog seperti MySpace sampai Xanga.com, adalah tempat nongkrong online yang semakin populer. Dalam lingkar pergaulan seperti itu, virtual community center, pusat komunitas maya, mereka dapat curhat, menemukan tempat untuk mengadu saat patah hati, mendapat teman untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah, dan alamat serta acara pesta Sabtu malam.

Walau pun jaringan semacam ini perkembangannya masih dalam tahap awal, tetapi kalangan ahli memperkirakan bahwa kini telah tercipta suatu bentuk kebiasaan sosial yang baru, yang mengaburkan perbedaan antara interaksi secara online dengan interaksi di dunia nyata.

Artikel itu sungguh mengusik saya.
“Apakah diriku juga sudah terjerumus ke kubangan kebiasaan sosial baru di atas ?”

Seperti juga Anda, saya menulis blog untuk kesenangan. Senang pula bisa mengetahui isi kepala blogger lain, seperti Andrew Sullivan, Caterina Fake, Dan Gillmor, Dave Wiener, Glenn Reynolds, Jeff Jarvis, Jeff Rosen (ini professor sekaligus blogger), Joe Trippi, Mickey Kaus, Nick Denton, Peter Rojas, Robert Scoble sampai si rambut jabrik Xeni Jardin.

Bisa puas lagi bebas mengeluarkan uneg-uneg sampai gagasan dengan gaya personal. Semau kita. Tak ada lagi batasan tirani kolom atau diktator media. Aktivitas yang mengasyikkan, terlebih seperti diungkap oleh Bapak Pencipta Snoopy, Charles Schulz, karena pahalanya justru otomatis ternikmati ketika kita lagi mengerjakannya.

The reward is in the doing.

Bila tulisan mendapatkan komentar dari blogger lain, itu adalah bonus. Termasuk bisa berkenalan dengan teman-teman baru, tempat meminta nasehat dan bimbingan. Konsultan blog saya yang baik hatinya, Tina, tinggal di Ulm, Jerman. Atau sekadar saling bertukar cerita-cerita jenaka.

Bahkan saya punya sahabat online, Lasma Siregar, mengaku sebagai TKI di Melbourne, Australia, yang luar biasa. Dia sudah lebih dari setengah lusin kali membanjiri saya dengan hadiah : buku-buku hebat, decoder (buku unik, bukan alat TV), artikel, kaos, sampai majalah-majalah Playboy edisi era Jurrasic.

Mungkin karena saya sudah berumur 53 tahun, oleh Lasma Siregar sengaja dipilihkan edisi majalahnya Hugh Heffner itu yang khusus memuat artis-artis yang kini pasti sudah jadi nenek-nenek.

Anda tahu artis Indonesia, Ratna Assan, puteri Devi Dja dari kelompok hiburan Dardanella, yang satu jaman dengan Tan Tjeng Bok ? Ratna Assan pernah tampil polos saat ikut membintangi film Papillon bersama Steve McQueen. Di majalah Playboy edisi era brontosaurus :-)) itu Ratna Assan berpose dengan penuh pesona.

Well, dengan menulis di blog, kejutan demi kejutan juga mewarnai hidup saya. Disapa oleh seseorang yang tidak dikenal, ternyata mengaku sama-sama sebagai warga WNA. WoNogiri Asli. Atau oleh sesama mahasiswa seangkatan, tapi beda jurusan, yang dulu justru tidak saling kenal.

Blog bagiku kini juga tiba-tiba ibarat mesin waktu. Hal-hal yang selama ini nampak maya, berjarak, seperti main-main dan tidak serius, ternyata ketika menjadi realitas mampu hadir menggetarkan. Karena blog pula, masa lalu tiba-tiba di ujung Desember 2005 ini merenggutku untuk kembali. Dengan bahasa panggil yang sangat berbeda.

Oleh dia. Oleh sebuah nama.
Widhiana Laneza.

Image hosted by Photobucket.com


Widhiana Laneza

Satu Tahun Lalu : 2004. Kamis, 28 Oktober. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang) Wanita-Wanita Terindah : Jacquline Bisset. Isabelle Adjani. Sherry Bilsig, pramugari dalam Die Hard 2 : Die Harder. Arie Kusmiran. Miduk. Kenil. Cresenthya Hartati. Widhiana Laneza. Dwi Retno “Tutut” Setiarti. Erika "Michiko" Diana Rizanti. (Posting di blog Buka Buka Beha/28 Oktober 2004).


Lima Bulan Lalu : 2005. Senin, 11 Juli. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an) ”WTS-WTS” Yang Memesona. Di komplek kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, terdapat taman yang dipayungi rimbun pepohonan yang diisi beberapa kupel dan bangku taman. Di sana-sini mangkal pedagang makanan.

Komplek ini tiap hari kuliah selalu ditaburi sosok-sosok yang mampu melahirkan inspirasi, bukan saja cantik dan jelita, tetapi juga memesona. Mereka itulah yang lajim disebut sebagai para “WTS” : Wanita Taman Sastra.

Misalnya, dari Arkeologi ada Widhiana Laneza. Bercelana jin biru, baju jin biru pula, rambut panjangnya digerai. Mirip penyanyi rock. Kacamatanya frame besar seperti yang dipakai komedian Drew Carrey. Sekilas mirip sosok tokoh feminis terkenal, Gloria Steinem. Bagiku, ini pemandangan yang memesona.

Ada pula Deasy Indriati, yang mungil dan gemintang. Dari Ilmu Perpustakaan : Saraswati, Sri Mulungsih, Arlima Mulyono (adik dari pelawak Warkop, almarhum Nanu Mulyono), Poppy sampai Evy yang mengejar-ejar cinta saya.

Dari Sastra Cina, misalnya penyanyi Christine Panjaitan. Teman kentalnya, Prianti Gagarin Singgih, yang seperti cewek bule Amerika. Sosok menawan dari Sastra Inggris antara lain, Siti Rabyah Parvati. Ayahnya dari Padang, ibunya, Ibu Poppy, priyayi dari Solo.

Rumah eyangnya di Solo kini menjadi lokasi berdirinya Balai Sudjatmoko. Intelektual raksasa dan Rektor Universitas PBB di Tokyo tersebut tidak lain adalah oomnya Siti Rabyah Parvati, yang akrab dipanggil Upik ini. Ayah Upik adalah Perdana Menteri Sutan Syahrir. (Posting di blog Esai Epistoholica No. 24/Juli 2005/11 juli 2005).


Tujuh Bulan Lalu : 2005. Selasa, 14 Juni. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an). Rayuan Bu Dosen Perancis. Cita rasa saya terhadap wanita yang ada “bau-bau” Perancisnya, tetapi bukan wanita impian yang hanya bergerak-gerak di layar-layar bioskop, saya temui pada diri seorang Anez.

Mahasiswi Sastra Perancis.
Juga arkeologi.

“Namamu pakai huruf z, terasa eksotis”, pujiku. Ia menerangkan bahwa namanya diilhami dari kosa kata bahasa Spanyol.

Nama Spanyol, cinta Perancis. Saking kentalnya Anez dengan Perancis, anjingnya yang kecil dan lucu, juga punya nama dalam bahasa Perancis : Grigri. Artinya, jimat. Saat itu dengan bantuan teman, saya membuat kop surat dengan komputer. Tertulis “Grigri Petshop” lengkap dengan alamat rumahnya, yang disambut Anez dengan tertawa-tawa.

Sayang, bahasa Perancisku tidaklah canggih. Aku pernah ikut dalam mata kuliah Bahasa Sumber di FSUI, kini Fakultas Ilmu Budaya UI. Di sini setiap mahasiswa, baik Arkeologi, Ilmu Perpustakaan (jurusanku) dan Filsafat (jurusannya Dian Sastro kini), Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Cina, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jawa, Sastra Jepang, Sastra Jerman, Sastra Perancis, Sastra Rusia dan Sejarah, wajib mengikuti mata kuliah tersebut. Para mahasiswa boleh memilih : bahasa Belanda, Italia atau Perancis.

Aku memilih Perancis. Tetapi karena metode belajarku tidak efektif, selain tuntutan untuk berfokus pada mata kuliah di jurusanku sendiri, membuat mata kuliah Bahasa Perancis ini menjadi kurang membahagiakanku. Apalagi, mungkin ini bisa disebut sebagai ge-er berat, ibu dosen Perancisku yang masih muda dan charmant itu, aku rasa, terlalu berlimpah memberikan perhatian rada khusus pada diriku. Memuat rayuan terselubung. Godaan yang menggairahkan. Mendebarkan dan menggelisahkan.

Teman sekelasku dari jurusan yang berbeda, yaitu cewek-cewek yang radar atau naluri kewanitaannya peka, sering mencandaiku akan hal spesial satu ini. Termasuk pula Upik, anak Sastra Inggris dan putri mantan Perdana Menteri RI Sutan Syahrir, yang sering aku repoti ketika aku sulit mengerjakan PR atau saat tes-tes dadakan Bahasa Perancis.

Semua gunjingan itu membuatku jadi jengah. Aku seperti Benjamin Braddock yang naif di depan Mrs. Robinson yang berpengalaman. Akhirnya, aku melakukan desersi. Hanya ikut kuliah bahasa Perancis itu satu semester. Au Revoir ! Lalu pindah ke mata kuliah Bahasa Belanda.


Kembali ke Anez. Aku belum berani membelai Grigri, anjing kesayangannya itu. Aku merasa kurang yakin bahwa diriku memiliki keramahan alami untuk seekor anjing. Pernah saya bertemu seekor anjing, di mana mulutku tidak berkata apa-apa kepadanya. Hanya sorot mataku ingin berkata : “Hei, kamu anjing jelek”. Kami pun berpapasan dengan damai. Tetapi, sekejap kemudian, saya rasakan sebuah gigitan mencengkeram tumit saya. Anjing itu rupanya memahami bahasa nonverbal saya.

Untung rabies tidak mendera saya.

Grigri dan Anez, sungguh ajaib, menjadi pemicu terbitnya buku kumpulan lelucon satwa, yang saya tulis, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Begitulah modal rayuan saya. Perasaan jatuh cinta yang mendalam telah berujung dengan terbitnya sebuah buku.


Kutipan sebagian isinya :

“Apakah Grigri seekor anjing penjaga yang baik, Anis ?” “Yah, lumayan. Kalau mendengar gemerisik di malam hari, aku harus membangunkan dia dan barulah ia menyalak.”

Aku telah menghabiskan waktu 5 bulan untuk melatih anjingku agar menjadi anjing penjaga yang baik dan berani. Istriku juga mengajarinya membawakan keranjang belanjaan dan surat kabar. Suatu hari rumahku didatangi pencuri, dan apa yang terjadi ? Anjing sialan itu memegangi obor dan menerangi pencuri dalam beraksi.

Sebuah perusahaan industri makanan anjing berhasil mengeruk keuntungan yang melimpah lewat produknya yang terbaru. Konon makanan itu cita rasanya persis sama dengan kaki pegawai pengantar pos !


Proses (penulisan buku) yang terjadi memang menggairahkan, mungkin tercampur dengan mabuk, terpagut ekstasi, sekaligus tidak memikirkan apa hasil akhir yang terjadi. Kalau Anda percaya, itulah fenomena menakjubkan yang disebut sebagai flow, mengalir, temuan psikolog Mihaly Csikszentmihalyi dari Universitas Chicago.

Flow adalah kondisi bahagia dan terkonsentrasi yang seakan-akan tidak dibatasi waktu, yang Anda raih ketika pekerjaan tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu sederhana, namun cukup menarik untuk memikat seluruh perhatian Anda. Flow sering bersamaku ketika menulis surat-surat rayuan yang panjang atau bergulat merampungkan tulisan-tulisan yang membahagiakan.

Mengilas balik di antara momen-momen interaksi yang istimewa dan terjadi dengan Anez, adalah ketika saya ikut makan malam dengan ayah dan ibunya. Beliau adalah seorang duta besar di pelbagai negara francophone, negara-negara yang kuat dipengaruhi budaya Perancis, di benua Afrika. Terakhir menjadi duta besar di Kamboja.

Ketika malam itu obrolan bergulir tentang makanan, saya menyinggung kegemaran orang Perancis yang keranjingan makan escargot. Bekicot. Saya memberanikan diri nyeletuk, “Orang Perancis suka makan bekicot, membuat mereka jadi lamban ketika ditagih bayar hutang”.

Pak dutabesar meledak dalam tawa. Tetapi putrinya saat itu tidak antusias untuk ikut tertawa. Sinyal lampu merah tentang masa depan pdkt, pendekatan saya telah menyala. (Cuplikan dari posting di blog Esai Epistoholica No. 21/Juni 2005/Selasa, 14 Juni 2005).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 09.00, nerusin halaman 4 surat untuk Ria, tapi ogah memposinnya segera. Jam 12.00 keluar, innerku bilang, “kalau kamu pas goreh begini, tidak sarapan, pucat begini, kisruh begini...jangan-jangan ntar malah kepergok Anez.” Aku ke kantor pos : dapat 5 wesel dan 1 surat untuk ITSC (Ideas T-Shirt Club) dari tetangganya Ria, sama-sama Tawakal ; memposin surat ke Ria.

Aktivitas baru, nongkrong di shelter : jam 12.15. Innerku benar, di seberang sana, jalan sendirian, di mulut gang bertemu teman-temannya, ada cewek berjean dan baju merah kecoklatan :

Itulah Anez, Widhiana Laneza, cewek Arkeologi 82 yang sejak 1981 telah memenjarakanku dalam impian, “aku itu pengin mencintai dia, tapi jalan pengecutku selama ini, udah 5-6 kontak via surat, tak ada hasilnya”.

Saat itu, kerna perfeksionisku, aku memutuskan untuk off, ke fotokopi. “Hati gundah. Oalah, betapa kerdilnya aku ini” (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 30 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 08.00, ke JIP (kampus FSUI). Ke BAP : aku ambil ijazah SIP-ku, hari ini, dan sudah jadi. Ijazahku itu (baru dua tahun kuambil setelah kelulusanku) tak berdampak apa-apa padaku, “kenapa ya ?”. Keluar dari kampus FSUI... Jam 11.30. aku sudah di shelter, nongkrong. Ada bis 38, kukira 39, dan intuisiku berkedip-kedip, “Anez mana ?”

Dari pintu depan tak ada, ketika panning ke pintu belakang, “Ya Tuhan, itu Anez !”, gadis yang selama 4-5 tahun ini hanya hidup di angan-anganku. Hari ini ia berjean lusuh, t-shirt beige (coklat kemerah-merahan) dengan lengan dipotong, rambut tergerai nampak kusut, ia nampak kurus, berjalan tak acuh.

Seluruh badanku terasa beku : aku mau apa saat itu ? Mulutku tak bisa memanggilnya, aku cuman berjalan untuk memandanginya. Anez terus saja melangkah. Tanpa hirau. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 4 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ini, beberapa menit yang lalu, aku memberanikan diri untuk ketemu dan ngobrol a la kadarnya dengan Anez, Widhiana Laneza, di shelter Sunan Giri (15.30 WIB). Sebelumnya aku emang nunggu di shelter Rawamangun, eh dia malah lewat bersama temennya, acuh tak acuh di depanku, ke timur. “Apa yang harus aku lakukan ?”

Aku lalu membuntuti. Ia berhenti di shelter Sunan Giri : bercelana panjang warna khaki, baju garis-garis kecil warna coklat merah, menenteng tas kulit, saat itu temennya baru naik. Aku lalu berdiri di kirinya. Aku sapa :

“Anez ya ?”

Ia menengok. Aku mengajak salaman. Ia mau dan ramah. Aku bilang : “Aku yang pernah kirim surat kepada Anez” Dia tanya : “Sekarang kerja dimana ?’ Aku jawab, “bukan dimana, tetapi apa. Aku menulis”

Aku bilang, “aku malu, aku kan sulit ngomong, maka aku tulis surat”. Dia bilang, “iseng saja”. Kusahut : “tapi aku serius lho...”. Sambil ngomong itu aku memukul lembut pundaknya. Ia tak ada kesan benci atau menolak atas perlakuanku ini.

Oh ya aku tadi bilang : “Anez sekarang dimana sih ?” Ia nyebut alamat yang aku sudah tahu. “Saya pengin ngobrol atau main. Boleh engga sih ?”

Ia bilang : “boleh” (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Rabu, 12 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Terima kasih, Tuhan, aku telah ketemu lagi sama Anez, di rumahnya. Sepanjang senja dan malam tadi.

Image hosted by Photobucket.com

Kamar tamu yang sederhana interiornya. Di tembok kiriku ada foto besar, pengangkatan babenya Anez, Taufik Rachman Soedarbo, sebagai duta besar di Senegal (?), 11 Juni 1982. Berfoto bersama Bapak/Ibu Presiden RI. Anez dalam foto itu berkain, nampak langsing, tinggi, di dekat babenya.

Lalu Anez keluar, dikerubuti anjing-anjingnya. Yang hitam bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis) dan anjing merah bernama Pancho atau Cakil. Anjing putih yang di luar, galak (yang menyalakku kemarin Sabtu) dia sebut Minggo. Anez saat itu berdress : celana jean biru, baju biru, di kaki ada gelang emas, tangan bergelang, pakai jam tangan seperti di foto opspek.

Anez nampak antusias cerita tentang anjing. Aku berusaha menimpali dengan tanya, “anjingnya Liz Taylor yang bisa dikantongi itu jenis apa ?” sampai cerita humor seputar anjing yang bikin redaksi (koran) kalang kabut. Anez juga cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris, Sekolah Teknik Tinggi dan satunya lagi di komputer. Anez pengin ambil kursus komputer.

Malam itu, hmmm, aku ikut makan malam bersama ayah dan ibunya Anez. “Ini orang Jawa asli”, kata Anez mengenalkanku. Pak Taufik tanya, “Dari mana ? Jawa Timur ?” Aku bilang, Jawa Tengah. Wonogiri. Solo ke selatan. Beliau tidak tahu. “Engga pernah dapat pelajaran ilmu bumi”, kilah beliau.

Image hosted by Photobucket.com

Bapak dan Ibu Taufik makannya pakai tangan. Muluk. Ketika saya nanya mengenai makanan khas Afrika, cerita Pak Taufik banyak sekali dan aku asyik mendengarkannya. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Kamis, 13 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 19.30 : aku sampai ke rumah Ria. Ngobrol tentang buku humor dokter, juga tentang surat kabar kampus Warta UI (Ria jadi anggota redaksinya). “Kayak baca Suara Karya”, celetukku. Ria bilang, “Makasih Mas Hari”. Sambil ngakak.

Ria bilang (dirinya) udah damai sama papanya. Udah (pula) kursus Perancis. Akhirnya aku buka kartu ke Ria : “aku kini lagi berburu cewek.” Aku suka sama dia engga (ada bumbu) romantisnya, engga ada sexual drive, tapi datar-datar saja. Rasional. Cewek itu anonim bagi Ria. (Kusebut juga) suka Perancis dan aku sebut ia (sebagai) Garuda : terbang sendiri dan mandiri. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 15 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 11.30 berangkat pula jadinya, dan, di shelter Rawamangun terus tergambar Anez di sana. Sampai di JIP-FSUI, temu Ibu Soma (Ketua Jurusan). Hasil revisi skrip (yang aku tulis untuk televisi) diterima.

Engga banyak obrolan. Beliau cuman nawarin ; “mbok kamu belajar komputer, biar komputer ini engga underuse”. Aku jawab ya (dengan hati senang). Pulang. Mampir PO Box : dapat 2 surat ke ITSC, 1 tagihan dari Yani, dan Infokilat PDIN, (isinya antara lain daftar isi ) majalah Discover (September) yang ada artikel arkeologi : “moga-moga Anez bulan ini juga telah menerimanya”. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 29 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Baru saja aku nelpon Anez. “Ada apa ?’, tanya Anez. Aku agak nervous nanya bab seminar Arkeologi Publik, 2-3 Desember 1986. “Sebagai pendengar boleh kok”, katanya.

“Oh ya, kabarnya Grigri ?”, tanyaku. “Baik-baik aja. Sekarang baru mau makan”, jawab Anez. “(Anjing) yang kecil, siapa sih ?”. Anez jawab, “Bobi. Dan makasih untuk fotokopinya. Sudah diterima” Aku : “Yeah, mudah-mudahan ada gunanya” (Anez mengiakan : “ada gunanya, kok”).

“Udahan ya, Anez”
Jawab dia : “Kalau mau nelpon, nelpon aja”
“Yuk. Dadag” (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 2 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 9 sudah tiba di (gedung pertemuan di komplek UI Rawamangun) Sarwahita. Upacara seminar dibuka, aku masuk. Suasana orang-orang Arkeologi FSUI adalah, “yeah, suasana jurusan yang kering, tidak favorit, underdog, tersingkir”, gitu kesanku. Seperti juga jurusanku.

Aku ikut mendengarkan makalah pertama, “Museum dan Arkeologi”, oleh Bambang Soemadio dan penanggap Aristides Katopo. Isunya : bagaimana meningkatkan kesadaran publik tentang museum dan arkeologi.

Jam 12, aku cabut, dipelototi banyak mata. Nampaknya Anez tidak ada di antara mereka. Di pintu temu Paulina, Arkeologi 1986, (sebelumnya aku kenal sebagai) anak Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/HAAJ. Ngobrol sebentar. Lalu aku off ke (perpustakaan) PPIA.

Melihat cewek berkaki putih, innerku bilang : “Itu Upik kah ?”. Tapi aku membantah sendiri. Tapi ya, ia bener-bener Upik. Kita (lalu) terlibat ngobrol. Ia belum lulus (Sastra Inggris UI). Daftar artikelku dulu (untuknya) mubazir. Ya udahlah.

Aku berkomentar mengenai surat pembaca (yang ia tulis) di majalah Tempo. “Wah, kayak Cory Aquino”. Ia nampak senang, dengan sikap mau memukul. Komentarku lanjut : “mau jadi golput ya ?”

Upik Syahrir pergi ke rak, aku scanning majalah Scientific American. Nampak ia mau cabut, aku pura-pura tak tahu. Eh, Upik menghampiri kursiku dan bilang, “duluan, ya”.

Perpustakaan PPIA tak lagi menarik. Aku pulang, sambil menyapa “mBak PPIA” (yang kukira udah pindah). Ia bilang, “lama tidak ke sini ya ?” Aku jawab : “sore hari”. Pulang, jam 13.30. Scanning shelter UI (Rawamangun) : tak ada Anez. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Senin, 8 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ketemu banyak orang : Museum Satria Mandala, aku ikut acara Pengarahan Kursus Perpustakaan Mabes ABRI 86/87. Aku tiba on time, temu banyak ABRI : letnan kolonel. Aku duduk di barisan (dosen-dosen) UI.

Ke PDII, temu mbak Jati dan Suwarto. “Untung deh gue”. Riset majalah Romantika Arkeologia (FSUI) : temu berita bagus : Anez baca makalah tentang perkotaan kuno pra-Islam di acara diskusi. “Hebat juga anak satu ini ; dan aku tidak salah pilih ya ? Ia ilmuwan, aku juga, he..he”

Ini mengkhayal bab Anez : “kurasa dia itu juga cinta ilmu seperti juga aku ; dari luar sederhana tapi isi kepalanya cukup kompleks; dan pendekatanku selama ini kira-kira cocok engga ? Ya, embuhlah.....”

Dari PDII, aku tur ke Redaksi Pelita : ambil honor artikelku (“Terorisme Media”), 4 Nov 1986, “dapat Rp. 30.950,00”. Okay. Mampir American Cultural Center (Wisma Metropolitan 2), melamar jadi anggota. Ketemu bu Is Prayoga (kepala perpustakaannya dan dosenku) : “Buset, kerjaku freelance dikaitkan sama status singleku. Dia bilang aku harus cepat-cepat kawin”. Wah, aku menjawab : “Nasehat ibu saya dengarkan”. He-he, status freelance-ku kok tidak bercitra positif ya ?

Haus fotokopi artikel, eh, ketemu bab “melatih anjing”, aku ingat Anez : 24 halaman. Aku sangsi, jadi atau engga ? Akhirnya, demi cinta, harga segitu kupandang murah atau tak seberapa. Okay, aku fotokopi aja (artikel) “Four Ways To Walk a Dog” dari majalah Atlantic Monthly (April 1986) itu. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun pagi, tak ada orientasi. Seharian merampungkan desain (t-shirt) ITSC : Reagan – selesai. Pagi : menyalin dan menyalin surat cinta untuk Anez, “tapi gundah lagi, ditunda lagi”. OK.

Mandi sore untuk meredakan gundah dan bara di kepala dan dadaku sehubungan dengan cintaku pada Anez dan kesepian-kesepianku. Belum reda. Malam : box, blong, dan rasa sepi itu makin merujit-rujit. Ya Tuhan, begini hidupku. Escape : makan soto, kenyang, agak adem hati ini. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu :1986. Senin, 29 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari bersejarah dalam karirku sebagai penulis. Aku menyerahkan naskah kepada penerbit : naskah sebuah buku, buku kumpulan humor satwa, dengan motivasi : mempersembahkan karya itu bagi orang yang ingin aku cintai, Widhiana Laneza ! Anez, sebutannya. (Buku Harian).

Image hosted by Photobucket.com



Petikan isinya lagi :


”Mengapa engkau menangis, Ani ?”
“Aku sedang sedih karena anjingku mati pagi ini”
“Lho ? Mertuaku juga baru saja mati, tetapi aku tidak bersedih seperti kamu saat ini.”
“Iya, habis kamu tidak membesarkan mertuamu sejak kecil”


”Aku telah menemukan cara terbaru untuk mengusir pinjal dari tubuh anjingku.”
“Bagaimana caranya ?”
”Gampang ! Anjingku kuajak naik pesawat terbang, lalu pilotnya kusuruh untuk berakrobat di udara. Pinjal-pinjal itu menjadi ngeri dan mereka pun berhamburan pergi.”

Seekor ayam babon tua memanggil sekelompok ayam babon muda. “Maukah kalian mendengar nasehatku ?”, tanya si Tua.
“Nasehat apa ?”
“Sehari sebutir telur menjauhkan lehermu dari pisau dapur”


Sembilan Belas Tahun Lalu :1986.Rabu, 31 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia bilang, fotokopi tentang anjing itu telah ia terima. Juga cerita tentang jadwal ujiannya, awal Januari 1987, dan bahkan ia cerita pengin kerja freelance. “Kerja apa ?”, tanyaku. “Engga tahu. Bapak yang mencarikannya”

“Pada diri Anez apa yang bisa dijual ?”, tanyaku. Bercanda secara otomatis muncul. Terdengar dia tertawa besar. Segar. “Maksudku, skillnya”, jelasku. “Bahasa”, kata Anez.

Anez nanya ; “Apa acara Tahun Baru ?”. “Evaluasi tahun 1986,” kataku, dan “rencana tahun 1987”, Anez menambahkan. Aku bilang : “biasanya semangat tinggi ada di bulan Januari, sesudah itu biasa-biasa lagi” (Buku Harian).


Delapan Belas Tahun Lalu : 1987. Jumat, 9 Januari. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia cerita anjingnya yang hilang. Si Cakil atau Pancho. Dicuri orang ? Ia cerita tentang pagar rumahnya yang bolong. “Anez nangis engga ?”, godaku. “Engga. Mudah-mudahan dicuri oleh pemiliknya”, kata Anez. “Lalu anjing baru, jenisnya apa ?”, tanyaku. Dan jawabnya : “Biasa. Anjing kampung”

“Jadi semua (anjingmu) serba kampungan ya ?”

Anez tertawa. Aku lalu nanya bab anjing Labrador, Alsatian, dan melucu tentang anjing Dachshund yang bisa dikomersilkan : untuk membersihkan cerobong asap. Anez bilang : “jangan kejam-kejam dong.” Aku me-recall humor tentang cewek yang disukai anjing bukan karena cantiknya, tetapi “she has a good bone structure. Anyway, all the dogs loves her”.

Anez inisiatif buka obrolan lain. Kali ini tentang rencana pertunjukan maestro ballet di Jakarta. “Rudolph Nureyev, kan ?”, sergahku.

Cocok.

“Tapi karcisnya mahal”. Anez menjawab : “Ya. Karcisnya mahal”. Aku usulkan : “lebih baik nonton videonya, lebih murah. Oh ya, Anez, aku sering terkicuh antara Nureyev dengan....”, dan Anez gantian cepat menjawab : “Mikhail Baryshnikov”

Cocok. Nyambung.

Aku nelpon kali ini tanganku yang pegang handle gemetaran. Lapar ? Masih soal Baryshnikov aku berkata : “kan dia kini lagi main film”. Anez kembali cepat menimpali : “White Night”.

Cocok dan nyambung lagi.

“Anez suka film semacam Return To Eden ?” Ia bilang : dulu suka, tapi sesudah melingkar-lingkar, ia bilang tidak mengikuti. “Itulah opera sabun”, kataku, dan kusambung cerita tentang penulis opera sabun versus istri tukang ledeng.

(Konon, ada penulis opera sabun yang pipa ledeng di rumahnya rusak. Ia nelpon tukang ledeng, tetapi yang menerima istrinya. Istri itu surprise setelah tahu yang menelpon itu penulis opera sabun favorit yang sering ia tonton di televisi. Ia lalu tergoda pengin tahu bagaimana kelanjutan kisah si tokoh utama. Katanya, “ kalau saya dibocorin lanjutan kisah si tokoh, saya akan meminta suami saya untuk membantu Anda. Kalau tidak dibocorin, saya akan tutup telepon ini” Si penulis opera sabun itu menyerah.)

Anez terdengar tertawa.

Aku bersiap menutup pembicaraan. Ketika koin keempat jatuh, menit ke 9 -12 mulai, aku bilang : “Tahu engga, bahwa Anez itu menarik ?” Anez tertawa. Surprise. Dapat tembakan rayuan. Tapi dia hendak mengelak : “Engga kok. Tapi engga tahu deh anggapan orang lain”

Saat itu aku hendak nerangin soal Johari Window, tapi tak jadi. Aku bilang lagi : “Bener kok, Anez itu menarik”. Ia tertawa lagi dan dengan cerdas ia berkelit. “Anyway, thank you”, katanya dengan tutur yang luwes. Sambil tertawa gembira. Aku juga.

“Yuk, dadag”, tutup Anez. (Buku Harian).


FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Saya menulis email balasan berikut ini :


Dear Mas Anto,
Terima kasih untuk email Anda, Mas Anto. Salam kenal. Saya mengingat, kalau tak salah ingat, Anez pernah cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris. Di elektro ? Apakah itu Mas Anto ?

Anez bercerita sepintas hal itu di rumah, sambil direcoki oleh Grigri (kata Anez, artinya "jimat" dalam bahasa Perancis) dan si Cakil, keduanya adalah anjing kesayangannya. Gara-gara anjingnya Anez itu sampai saya tergerak menyusun buku kumpulan humor satwa.

Suatu saat di telepon Anez cerita bahwa si Cakil itu pergi. Saya tanya ke Anez, apa jenis anjingnya itu ? Anez bilang, anjing kampung. Lalu saya tanya : semua anjingmu itu kampungan ya ? Anez hanya tertawa kecil.

Pernah juga saya katakan di telepon : "Anez itu menarik" Kalau saya ketemu sekarang, masih akan saya katakan : "Anez itu menarik" Saya yakin kini Tuhan Yang Maha Penyayang juga akan mengatakan bahwa Widhiana Laneza itu menarik, sehingga ia dipanggil lebih cepat untuk menghadapNya.

Saya ikut merasa kehilangan, Mas Anto.

Semoga Mas Anto, suaminya Anez, Ibu dan Bapak Taufik ("saya senang ketika diberi cerita beliau tentang makanan khas Senegal") dan keluarga besar di sini diberi ketabahan dan kekuatan iman.

"Selamat jalan Anez, semoga kau di surga sana mendapat tugas arkeologi yang lebih menantang"

Wassalam.

Hormat saya,
Bambang Haryanto


FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Sebelumnya saya mendapat email tak terduga-duga berikut ini :

Mas Bambang,
Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan situs blog anda "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list “wanita-wanita terindah” Anda.

Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya.

Salam,
Anto,
kakaknya Anez.


Apa Daya Saya Hanya Manusia. Penyair Jerman Rainer Maria Rilke telah bilang, dalam cinta satu-satunya hal yang harus dipraktekkan adalah : berilah kebebasan bagi orang-orang yang Anda cintai. Kalau ingin membelenggunya, itu perkara mudah, kita tidak usah belajar tentangnya.

Kebebasan Anez, kebebasanku dan kebebasan kami, akhirnya membuat jatuh cintaku kepada Anez kandas. Aku bisa mengerti. Karen Carpenter, penyanyi favoritku yang mati muda di usia 33 tahun dalam “When I Fall In Love” seolah mengabadikan kepedihan itu :

In a restless world like this,
love is ended before it’s begun.

Hal ini pun, Anez, juga bisa aku mengerti.

Tetapi memperoleh kabar bahwa Widhiana Laneza telah dijemput kebebasan puncaknya sebagai manusia untuk kembali keharibaan Tuhan di bulan Desember ini, betapa momen menggetarkan dan penuh misteri dariNya tersebut masih terasa sulit untuk bisa aku mengerti.

Apa daya, saya hanya manusia.


Wonogiri, 22-23 Desember 2005



Catatan : Tulisan ini aku posting di situs blogku, Close To You, Komedikus Erektus ! dan Esai Epistoholica. Tanggal 23 Desember 2005. Pada blog Esai Epistoholica, aku menemui kesulitan, karena hasil postingnya tiba-tiba mengalami cacat pada teksnya.

Nama Anez di Radio : Simpati pun Mengalir



Sesudah menumpahkan uneg-uneg kesedihan dan rasa kehilangan di buku harianku, kini radio ganti menjadi sasaran pelampiasannya. Aku tidak malu mengutarakan kesedihanku karena perginya Anez dari dunia ini.

Selewat jam 23-an, aku kirim SMS ke Radio Solopos FM : “Mohon diputarkan lagu Everybody Hurts dari R.E.M. atau The Corrs. Untuk mengenang kepergian wanita terindahku, Anez, 20/12/2005”


Don't let yourself go
Cause everybody cries
And everybody hurts
Sometimes

Lagu yang diputarkan saat itu adalah yang dinyanyikan R.E.M. Bagiku, warna suara mereka memicu bayangan leherku ibarat tercekik oleh belitan kawat berduri. Rasa sakit itu terasa menusuk-nusuk kulit.

Sementara bila dinyanyikan oleh The Corrs, lagu ini ibarat sembilu. Ia menggores kulit Anda seperti tidak terasa, tetapi luka yang ditimbulkan begitu dalam, menyobek urat dan otot, dan darah pun tak terasa deras mengalir.

Penyiarnya saat itu Arief Junor. Kabar duka itu kemudian, “ya Tuhan, moga kau juga telah mendengar, Anez”, mendapat ucapan empati dari pendengar lain. Misalnya, Pak Teguh, tokoh kunci Paradiso, komunitas penggemar Radio Solopos FM, dan juga penyiarnya, Arief Junor, yang mendoakanku agar diberikan ketabahan oleh Yang Maha Kuasa.

Hold on, hold on
Everybody hurts
You are not alone

Anez Di Diaryku, Kini Dengan Cerita Berbeda



Image hosted by Photobucket.com

Everybody Cries : Posting Kabar di Situs FIB Universitas Indonesia



Nama : Bambang Haryanto
IP : 202.159.61.53
Tanggal : 22 - 12 - 2005


Ikut berdukacita atas wafatnya kenalan saya, Widhiana Laneza, mahasiswa Arkeologi (FSUI) Angkatan 80-an. Moga kini dia mendapat tugas sebagai arkeolog di Surga, di sisi Tuhan.
Amin.

Everybody Hurts : Posting Kabar di Situs Arkeologi.Net




http://www.arkeologi.net/sgb.php

Nama : Bambang Haryanto
IP : 202.159.61.53
Tanggal : 22 - 12 - 2005

Hai, saya pernah kuliah di FSUI Rawamangun, tapi bukan dari arkeologi. Saya baru dapat kabar bahwa mantan mahasiswi Arkeologi, Widhiana Laneza, meninggal, 20 Des 2005 yang lalu. Saya ikut berduka cita, semoga ia mendapat tugas baru sebagai arkeolog di Surga, di sisi Tuhan.

Amin.

Selamat Jalan, Anez !




Date: Wed, 21 Dec 2005 19:09:43 -0800 (PST)
From: "Bambang Haryanto"
Subject: Selamat Jalan Anez !
To: verdi.amaranto@xxx.co.id


Dear Mas Anto,
Terima kasih untuk email Anda, Mas Anto. Salam kenal.
Saya mengingat, kalau tak salah ingat, Anez pernah cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris. Di elektro ? Apakah itu Mas Anto ? Anez bercerita sepintas hal itu di rumah, sambil direcoki oleh Grigri (kata Anez, artinya "jimat" dalam bahasa Perancis) dan si Cakil, keduanya adalah anjing kesayangannya.

Gara-gara anjingnya Anez itu sampai saya tergerak menyusun buku kumpulan humor satwa.
Suatu saat ia, di telepon, Anez cerita bahwa si Cakil itu pergi. Saya tanya ke Anez, apa jenis anjingnya itu ? Anez bilang, anjing kampung. Lalu saya tanya : semua anjingmu itu kampungan ya ?

Anez hanya tertawa kecil.

Pernah juga saya katakan di telepon : "Anez itu menarik. "Kalau saya ketemu sekarang, masih akan saya katakan : "Anez itu menarik”. Saya yakin kini Tuhan Yang Maha Penyayang juga akan mengatakan bahwa Widhiana Laneza itu menarik, sehingga ia dipanggil lebih cepat untuk menghadapNya.

Saya ikut merasa kehilangan, Mas Anto.

Semoga Mas Anto, suaminya Anez, Ibu dan Bapak Taufik ("saya senang ketika diberi cerita beliau tentang makanan khas Senegal") dan keluarga besar di sini diberi ketabahan dan kekuatan iman.

"Selamat jalan Anez, semoga kau di surga sana mendapat tugas arkeologi yang lebih menantang"

Wassalam.
Hormat saya,
Bambang Haryanto